Pagi itu di sekolah, Bintang langsung masuk ke
kelasnya. Yep, 11 IPS 2. Tujuan utama Bintang memang bukan ke jurusan IPS,
namun takdir berkata lain. Mungkin Tuhan sudah menggariskan bahwa Bintang harus
mengisi kekurangan murid di kelas sosial tersebut.
Bintang memang orang yang cuek. Tapi tidak pada
awalnya. Dulu, Bintang dikenal sangat ramah, sangat berhati baik, sangat
penyayang. Semua predikat baik sudah disandang Bintang. Semua berubah semenjak
Bintang kehilangan seseorang yang sangat dicintainya, Bintang memanggilnya
Ober. Bintang selalu menganggap Ober adalah obsesinya, cinta matinya,
segalanya. Perlu diketahui, jika Bintang mencintai seseorang, kasihnya tak akan
pudar oleh apapun. Cinta dia terlalu dalam untuk Ober. Tapi lain dengan Ober.
Ober menyalahgunakan kesetiaan Bintang. Ober menganggap Bintang telah
sepenuhnya patuh oleh Ober. Sampai suatu ketika Ober ingin sesuatu dari
Bintang. Tetapi karena pendirian tinggi, Bintang menolaknya. Menolak untuk
melakukan sesuatu yang dianggap Bintang salah. Sesuatu yang menyerong dari
norma-norma maupun agama. Tidak terima dengan hal itu, Ober memutuskan untuk
meninggalkan Bintang.
Bintang menangis semalaman dan memutuskan untuk
pergi berlibur ke puncak, milik ayahnya. Disana, Bintang hanya sorang diri. Ia
berniat menenangkan fikirannya. Entah untuk beberapa lama, Bintang izin dari
sekolah untuk ritual tenang diri tersebut. Di puncak, terdapat spot yang sangat
disukai Bintang dan selalu ia kunjungi. Taman Dorkas. Disebut begitu karena banyak
patung rusa di taman itu. Selain bintang, Bintang fanatik terhadap rusa.
Suatu sore, Bintang berjalan ke Taman Dorkas
tersebut. Dia mengenakan blus merah, lengkap dengan syal dan topi khas puncak.
Tak lupa ia membawa laptop untuk menulis semua yang telah terjadi. Bintang
duduk di kursi putih kesukaannya. Bintang langsung menghirup dalam-dalam udara
sejuk puncak. “gue rindu seseorang”
ucap Bintang lirih. Sambil membuka laptopnya, Bintang bernyanyi-nyanyi pelan.
Ia ingat bahwa dulunya dia sangat suka menyanyi.
Tiba-tiba... “Hei, suara lo bagus,” ucap pria asing
dari belakang Bintang.
“Siapa lo?” jawab Bintang sinis,tetapi didalam hati
dia ketakutan.
“Tenang, gue Bernard. Gue lagi liburan disini. Kalo
elo?” jawab pria tersebut dengan lembut.
“Gue Bintang. Lagi liburan juga.” Bintang tetap
sinis tapi ketakutannya sedikit berkurang.
“Lo sering ya dateng ke taman ini?” lanjut Bernard.
“Iya. Kenapa?” jawab Bintang tanpa mengalihkan
kegiatannya menulis pengalamannya.
“Gue juga suka dateng kesini. Tapi gue ga pernah liat
lo sebelumnya?”
“Gue kepuncak kalo lagi ada masalah aja. Dan lo
jangan nambah-nambahin masalah gue.” Ucap Bintang sembari meninggalkan Bernard.
“Eh, Bin. Besok gue tunggu lo disini jam yang sama
juga yaaa” teriak Bernard sebelum
Bintang beranjak lebih jauh. Tapi Bintang tetap tidak memperdulikannya.
Di vila, Bintang masih terus menerus
melamun. Tanpa ia sadari, dia menangis dalam kesendiriannya. Didalam lubuk
hatinya, Bintang masih ingin hidup seperti sebelumnya. Ia ingin menjadi sosok
yang ceria lagi. Tapi semua seperti mimpi. Mungkin ini yang disebut penyakit
hati. Bintang tak bisa dengan cepat berubah seperti sedia kala. Bintang tak
bisa dengan cepat melupakan kisah-kisahnya dengan Ober. Mungkin dia sudah
trauma oleh cinta.
Pagi harinya, Bintang teringat oleh
ucapan Bernard yang menginginkan bertemu di Taman Dorkas. Awalnya Bintang tidak
ingin bertemu, tetapi karena dia ingin mengubur kenangannya, mungkin berteman
dengan Bernard bisa membantunya.
Waktu yang dinanti telah tiba.
Bintang pergi ke Taman Dorkas. Bintang mengenakan sweater bermotif tribal
bintang, celana denim hitam, topi rajut merah maroon, dan seperti biasa,
bintang sangat menyukai memakai wedges sneakersnya. Tak lupa bintang mengenakan
syal warna merah maroon juga. Ditentengnya tas batik berisi laptop
kesayangannya.
Belum sampai, Bintang telah
menemukan sosok pria tinggi nan langsing duduk di kursi taman. Bernard terlihat
berbeda hari ini. Ia nampak lebih rapi dari sebelumnya. Bernard mengenakan baju
putih polos dirangkap dengan jacket kulit berwarna coklat tua, serta celana
jeans hitam. Bernard menggunakan alas kaki sepatu sneakers berwarna hitam. Jika
kemarin Bernard menggunakan topi flux,
sekarang ia tak memakainya. Rambutnya dipotong cepak. Berwarna coklat tua.
Sangat cocok untuk kulitnya yang putih.
“Hei Bintang. Akhirnya lo dateng
juga.” Sapa Bernard ketika Bintang langsung duduk di kursi putih itu.
“Iya. Gue kasian sama muka lo yang
melas itu. Jadi gue mau ketemu elo.” Celetuk Bintang asal. Bernard yang
dianggap punya muka melas langsung menunjukan mimik melasnya ke arah Bintang.
“Dih apaan sih lo. Sekarang mau
apa?” ucap Bintang sewot.
“Yaudah kita duduk aja disini.
Nikmatin udara, bincang-bincang, liat sunset, atau lo mau gue beliin jagung
bakar? Enak looooh” kata Bernard.
“Yaelah. Kaga. Gue mau nulis aja.”
Kata Bintang.
“Eh Bin, by the way katanya lo lagi ada masalah? Boleh gue tau masalah lo?”
kata Bernard memancing pembicaraan.
“Bukan urusan lo.” Ucap Bintang yang
sedang sibuk dengan tulisannya.
“Yaelaaah, santai Neeeng.” Kata
Bernard sambil beranjak pergi.
“Woi mau kemana lo?” teriak Bintang.
Tetapi Bernard tak menyahut.
Tanpa sadar, Bintang menulis
pengalaman dirinya dengan Bernard. Tentang awal kejadian mereka bertemu, tentang
hari ini juga.
“Hayo loooooo. Nulis tentang gue
yaaaa.” Kata Bernard. Sontak Bintang berdiri dari kursinya.
“Heh lo kurang ajar banget sih.
Kaget nih gue.” Semprot Bintang.
“Alaaah ngaku lo. Nulis tentang gue
kaan hahahaha.” Kata Bernard masih tetap
tertawa terbahak-bahak.
“Dih kagaaa.” Jawab Bintang dengan muka
yang kentara sedang menyembunyikan sesuatu. Ditambah mukanya yang memerah. “Eh
lo bawa apaan tuh???” Bintang mengalihkan pembicaraan.
“Nih jagung bakar spesial buat lo.”
Jawab Bernard sembari memberikan jagung bakar itu.
“Waaah makasih ya. Gue laper nih.”
Kata Bintang. Binitang langsung menyerobot jagung panas itu dan langsung
memakannya.
“Shhh. Pedes banget gilaaaa.” Kata
Bintang sambil mengipas-ngipas mulutnya. Wajahnya menjadi merah padam seketika.
“Lo ga kira-kira ngasih tingkatan pedesnya nih.” Ucap Bintang.
“Duh sorry, gue ga ngerti kalo lo ga
tahan pedes. Bentar deh bentar yaa.” Jawab Bernard seraya berlari menuju
belakang taman. Entah apa yang dipikirkan Bintang, tiba-tiba Bintang hanya
melongo melihat kelakuan Bernard.
Beberapa menit kemudian, “Nih minum
gih. Biar ilang tuh pedesnya. Sorry ya Bin,” ucap Bernard sambil terengah-engah.
“Lo dari mana? Muka pucet, nafas
ngos-ngosan gitu. Kaya orang dikejar babi tau.” Bintang langsung menggapai air
mineral yang dibawa Bernard.
“Ga perlu tau. Abisin gih minumnya.”
Setelah berbincang-bincang cukup
lama, Bintang akhirnya memutuskan untuk pulang.
Malam hari, seperti biasa, Bintang
duduk di balkon untuk melihat bintang dilangit. Malam ini memang langit sedang
bersahabat pada Bintang. Bintang sangat senang bila melihat taburan bintang
yang berpijar menerangi langit gelap. Keasyikan Bintang tergangu oleh suara
handphone-nya.
“Halo, Bintang?” tanya pria di
seberang sana.
“Siapa nih?” Bintang memutar
pertanyaan.’
“Gue Bernard. Dih masa iya lo lupa
suara gue sih.”
“Ngapain gue musti hapfal? Ada apa
lo telfon gue?” tanya Bintang.
“Besok gue mau cerita banyak hal ke
lo. Dateng ke taman jam 3sore ya. Ga ada kata telat. See ya.” Klik. Telefonpun terputus.
“Kampret nih bocah bikin janji
seenak jidatnya sendiri” umpat Bintang.
Bintangpun langsung beranjak ke
kamarnya. Hari ini ia sangat lelah dan ingin beristirahat sejenak.
To be continued
No comments:
Post a Comment