Wednesday, January 16, 2013

Bintang (PART 1)


Pagi itu di sekolah, Bintang langsung masuk ke kelasnya. Yep, 11 IPS 2. Tujuan utama Bintang memang bukan ke jurusan IPS, namun takdir berkata lain. Mungkin Tuhan sudah menggariskan bahwa Bintang harus mengisi kekurangan murid di kelas sosial tersebut.
Bintang memang orang yang cuek. Tapi tidak pada awalnya. Dulu, Bintang dikenal sangat ramah, sangat berhati baik, sangat penyayang. Semua predikat baik sudah disandang Bintang. Semua berubah semenjak Bintang kehilangan seseorang yang sangat dicintainya, Bintang memanggilnya Ober. Bintang selalu menganggap Ober adalah obsesinya, cinta matinya, segalanya. Perlu diketahui, jika Bintang mencintai seseorang, kasihnya tak akan pudar oleh apapun. Cinta dia terlalu dalam untuk Ober. Tapi lain dengan Ober. Ober menyalahgunakan kesetiaan Bintang. Ober menganggap Bintang telah sepenuhnya patuh oleh Ober. Sampai suatu ketika Ober ingin sesuatu dari Bintang. Tetapi karena pendirian tinggi, Bintang menolaknya. Menolak untuk melakukan sesuatu yang dianggap Bintang salah. Sesuatu yang menyerong dari norma-norma maupun agama. Tidak terima dengan hal itu, Ober memutuskan untuk meninggalkan Bintang.
Bintang menangis semalaman dan memutuskan untuk pergi berlibur ke puncak, milik ayahnya. Disana, Bintang hanya sorang diri. Ia berniat menenangkan fikirannya. Entah untuk beberapa lama, Bintang izin dari sekolah untuk ritual tenang diri tersebut. Di puncak, terdapat spot yang sangat disukai Bintang dan selalu ia kunjungi.  Taman Dorkas. Disebut begitu karena banyak patung rusa di taman itu. Selain bintang, Bintang fanatik terhadap rusa.
Suatu sore, Bintang berjalan ke Taman Dorkas tersebut. Dia mengenakan blus merah, lengkap dengan syal dan topi khas puncak. Tak lupa ia membawa laptop untuk menulis semua yang telah terjadi. Bintang duduk di kursi putih kesukaannya. Bintang langsung menghirup dalam-dalam udara sejuk puncak. “gue rindu seseorang” ucap Bintang lirih. Sambil membuka laptopnya, Bintang bernyanyi-nyanyi pelan. Ia ingat bahwa dulunya dia sangat suka menyanyi.
Tiba-tiba... “Hei, suara lo bagus,” ucap pria asing dari belakang Bintang.
“Siapa lo?” jawab Bintang sinis,tetapi didalam hati dia ketakutan.
“Tenang, gue Bernard. Gue lagi liburan disini. Kalo elo?” jawab pria tersebut dengan lembut.
“Gue Bintang. Lagi liburan juga.” Bintang tetap sinis tapi ketakutannya sedikit berkurang.
“Lo sering ya dateng ke taman ini?” lanjut Bernard.
“Iya. Kenapa?” jawab Bintang tanpa mengalihkan kegiatannya menulis pengalamannya.
“Gue juga suka dateng kesini. Tapi gue ga pernah liat lo sebelumnya?”
“Gue kepuncak kalo lagi ada masalah aja. Dan lo jangan nambah-nambahin masalah gue.” Ucap Bintang sembari meninggalkan Bernard.
“Eh, Bin. Besok gue tunggu lo disini jam yang sama juga yaaa”  teriak Bernard sebelum Bintang beranjak lebih jauh. Tapi Bintang tetap tidak memperdulikannya.
            Di vila, Bintang masih terus menerus melamun. Tanpa ia sadari, dia menangis dalam kesendiriannya. Didalam lubuk hatinya, Bintang masih ingin hidup seperti sebelumnya. Ia ingin menjadi sosok yang ceria lagi. Tapi semua seperti mimpi. Mungkin ini yang disebut penyakit hati. Bintang tak bisa dengan cepat berubah seperti sedia kala. Bintang tak bisa dengan cepat melupakan kisah-kisahnya dengan Ober. Mungkin dia sudah trauma oleh cinta.
            Pagi harinya, Bintang teringat oleh ucapan Bernard yang menginginkan bertemu di Taman Dorkas. Awalnya Bintang tidak ingin bertemu, tetapi karena dia ingin mengubur kenangannya, mungkin berteman dengan Bernard bisa membantunya.
            Waktu yang dinanti telah tiba. Bintang pergi ke Taman Dorkas. Bintang mengenakan sweater bermotif tribal bintang, celana denim hitam, topi rajut merah maroon, dan seperti biasa, bintang sangat menyukai memakai wedges sneakersnya. Tak lupa bintang mengenakan syal warna merah maroon juga. Ditentengnya tas batik berisi laptop kesayangannya.
            Belum sampai, Bintang telah menemukan sosok pria tinggi nan langsing duduk di kursi taman. Bernard terlihat berbeda hari ini. Ia nampak lebih rapi dari sebelumnya. Bernard mengenakan baju putih polos dirangkap dengan jacket kulit berwarna coklat tua, serta celana jeans hitam. Bernard menggunakan alas kaki sepatu sneakers berwarna hitam. Jika kemarin Bernard menggunakan topi flux, sekarang ia tak memakainya. Rambutnya dipotong cepak. Berwarna coklat tua. Sangat cocok untuk kulitnya yang putih.
            “Hei Bintang. Akhirnya lo dateng juga.” Sapa Bernard ketika Bintang langsung duduk di kursi putih itu.
            “Iya. Gue kasian sama muka lo yang melas itu. Jadi gue mau ketemu elo.” Celetuk Bintang asal. Bernard yang dianggap punya muka melas langsung menunjukan mimik melasnya ke arah Bintang.          
            “Dih apaan sih lo. Sekarang mau apa?” ucap Bintang sewot.
            “Yaudah kita duduk aja disini. Nikmatin udara, bincang-bincang, liat sunset, atau lo mau gue beliin jagung bakar? Enak looooh” kata Bernard.
            “Yaelah. Kaga. Gue mau nulis aja.” Kata Bintang.
            “Eh Bin, by the way katanya lo lagi ada masalah? Boleh gue tau masalah lo?” kata Bernard memancing pembicaraan.
            “Bukan urusan lo.” Ucap Bintang yang sedang sibuk dengan tulisannya.
            “Yaelaaah, santai Neeeng.” Kata Bernard sambil beranjak pergi.
            “Woi mau kemana lo?” teriak Bintang. Tetapi Bernard tak menyahut.
            Tanpa sadar, Bintang menulis pengalaman dirinya dengan Bernard. Tentang awal kejadian mereka bertemu, tentang hari ini juga.
            “Hayo loooooo. Nulis tentang gue yaaaa.” Kata Bernard. Sontak Bintang berdiri dari kursinya.
            “Heh lo kurang ajar banget sih. Kaget nih gue.” Semprot Bintang.
            “Alaaah ngaku lo. Nulis tentang gue kaan hahahaha.”  Kata Bernard masih tetap tertawa terbahak-bahak.
            “Dih kagaaa.” Jawab Bintang dengan muka yang kentara sedang menyembunyikan sesuatu. Ditambah mukanya yang memerah. “Eh lo bawa apaan tuh???” Bintang mengalihkan pembicaraan.
            “Nih jagung bakar spesial buat lo.” Jawab Bernard sembari memberikan jagung bakar itu.
            “Waaah makasih ya. Gue laper nih.” Kata Bintang. Binitang langsung menyerobot jagung panas itu dan langsung memakannya.
            “Shhh. Pedes banget gilaaaa.” Kata Bintang sambil mengipas-ngipas mulutnya. Wajahnya menjadi merah padam seketika. “Lo ga kira-kira ngasih tingkatan pedesnya nih.” Ucap Bintang.
            “Duh sorry, gue ga ngerti kalo lo ga tahan pedes. Bentar deh bentar yaa.” Jawab Bernard seraya berlari menuju belakang taman. Entah apa yang dipikirkan Bintang, tiba-tiba Bintang hanya melongo melihat kelakuan Bernard.
            Beberapa menit kemudian, “Nih minum gih. Biar ilang tuh pedesnya. Sorry ya Bin,” ucap Bernard sambil terengah-engah.          
            “Lo dari mana? Muka pucet, nafas ngos-ngosan gitu. Kaya orang dikejar babi tau.” Bintang langsung menggapai air mineral yang dibawa Bernard.
            “Ga perlu tau. Abisin gih minumnya.”
            Setelah berbincang-bincang cukup lama, Bintang akhirnya memutuskan untuk pulang.
            Malam hari, seperti biasa, Bintang duduk di balkon untuk melihat bintang dilangit. Malam ini memang langit sedang bersahabat pada Bintang. Bintang sangat senang bila melihat taburan bintang yang berpijar menerangi langit gelap. Keasyikan Bintang tergangu oleh suara handphone-nya.
            “Halo, Bintang?” tanya pria di seberang sana.
            “Siapa nih?” Bintang memutar pertanyaan.’
            “Gue Bernard. Dih masa iya lo lupa suara gue sih.”
            “Ngapain gue musti hapfal? Ada apa lo telfon gue?” tanya Bintang.
            “Besok gue mau cerita banyak hal ke lo. Dateng ke taman jam 3sore ya. Ga ada kata telat. See ya.” Klik. Telefonpun terputus.
            “Kampret nih bocah bikin janji seenak jidatnya sendiri” umpat Bintang.
            Bintangpun langsung beranjak ke kamarnya. Hari ini ia sangat lelah dan ingin beristirahat sejenak.

                                                                                    To be continued 

No comments:

Post a Comment