“Gue
harus cepet-cepet nembak Diana. Gue ga mau rasa gue ke Bintang jadi lebih dan
lebih. Besok gue harus nembak Diana. Harus!” kata Bernard setibanya di vila. Malamnya,
Bernard merencanakan sesuatu.
Pagi
telah tiba. Seperti biasa, Bernard bangun pagi dan langsung pergi. Ia akan
melakukan misinya.
Ting tonnnng. Bel rumah Diana ditekan.
Seorang ibu paruh baya keluar mengenakan baju daster dan kemoceng di tangan
kanannya.
“Saha
akang teh?” tanya ibu tersebut.
“Saya
Bernard. Diana ada?”
“Oooh.
Neng Diana barusan aja balik Jakarta, Kang. Kumaha?”
“Balik
Jakarta??? Makasih ya Biii.” Kata Bernard sembari lari menuju mobilnya.
Bernard
berasa gagal. Tapi kerja keras Bernard tidak sampai disitu saja. Bernard
berniat esok pagi akan menyusul Diana ke Jakarta. Ia juga harus segera
menyelesaikan kuliahnya dan bertemu keluarganya di Jakarta.
Sementara
itu, Bintang yang sejak pagi sudah ada di Taman Dorkas, merasa kesepian.
Biasanya Bintang menemukan sosok Bernard di kursi putih ini. Bintangpun
menunggu beberapa jam.
Tetapi,
yang ditunggu tidak juga memunculkan batang hidungnya. Bintang memutuskan untuk
pulang. Ya. Niat Bintang untuk bertemu Bernard adalah berpamitan karena Bintang
harus melanjutkan sekolahnya Di Yogyakarta.
Di
vila, Bintang berkemas-kemas sangat
cepat. Lalu ada satu spot yang membuatnya terdiam lama. Bintang melihat ke arah
cermin riasnya. Dia atas cermin itu ada mahkota berhiaskan bunga sudah layu yang
diberikan oleh Bernard padanya. Tidak diambil, Bintang membiarkan mahkota itu
tetap tergantung di atas cermin.
Pesawat
tujuan Yogya akan take off pukul tujuh malam. Jadi Bintang pergi ke Bandara
pukul setengah enam sore. Di perjalanan, Bintang terus memikirkan tentang
Bernard. Tentang semua yang telah ia alami bersama. Bintang tahu. Ia telah
berubah semenjak kehadiran Bernard.
Di
bandara, Bintang menunggu di ruang tunggu penumpang. Ia terus menerus
memandangi handphone nya. Siapa tahu ada yang menghubunginya. Bernard.
Di
tempat yang sama, ternyata Bernard sedang menunggu keberangkatannya. Bernard
tidak jadi pulang pagi karena pesawatnya sudah take off jauh sebelum ia tiba. Keberangkatannya
diundur menjadi malam. Bernard sebenarnya ingin menghubungi Bintang. Tetapi
karena ia ingin menahan rasanya, ia mengurungkan niat tersebut.
Bintang
berdiri, Bernard berdiri. Mereka hanya terpaut beberapa meter saja. Tapi
sayang, mereka tidak berpapasan. Bernard berjalan ke kiri sedang Bintang
berjalan ke kanan.
Di
pesawat, Bintang membuka laptopnya.
“Disaat gue udah merubah sikap gue, dia
pergi. Disaat gue udah nyaman dengan keberadaannya, dia tak kunjung hadir lagi,
Disaat gue seneng dengan semua tingkahnya, dia berubah. Andai lo tau perasaan
gue ke lo.”
Di
pesawat yang berbeda, Bernard berkecamuk dengan fikirannya. Ia ingin membunuh
perasaannya pada Bintang. Karena ia sudah terlalu jauh dekat dengan Diana.
Ditambah Diana adalah anak dari rekan bisnis ayahnya. Ia tidak mungkin begitu
saja melepaskan ikatannya dengan Diana. Ia memang belum menembak Diana. Terapi
ia sudah begitu dekat dan ia tahu, Diana mengharapkan dia juga.
Sesampainya
di Jakarta, Bernard berbaring di kasur. Ia mencari handphone di tasnya. Lalu
menghubungi Diana. Ia akan membuat janji nanti esok.
Bintang
yang sudah tiba di Yogya langsung mandi dan istirahat sejenak. Esok hari ia
harus melakukan rutinitas seperti biasa.
Keesokan
harinya, Bintang berangkat sekolah diantar Pak Ngadimin, sopirnya. Belum sampai
di depan gerbang, Bintang meminta berhenti. Ia ingin jalan kaki. Pak ngadimin
hanya bisa mengangguk.
“Hei
Bintaaaang. Lo kemana aja sih? Puncak? Ko ga ajak-ajak siiih.” Sapa Nindy,
sahabatnya.
“Apaan
sih lo. Ada tugas apa aja nih?” tanya Bintang.
“Tenang,
tugas lo semuanya udah gue kerjain. Jadi nanti istirahat lo harus teraktir gue
yaaa.” Kata Nindy.
“Bisa
aja lo meres gue haha.”
Bintang
dan Nindy sudah bersahabat dari orok. Orang tua mereka bersahabat. Banyak
anak-anak mengucapkan ‘dimana ada Bintang, disitu ada Nindy’ begitu sebaliknya.
Bel
istirahat berbunyi. Bintang langsung ditarik oleh Nindy. Pastinya menuju
kantin. Nindy memang doyan makan. Apalagi jika ditraktir oleh Bintang. Bisa
habis sebagor sendiri tuh anak.
“Hmm
jadi gimana Bin? Ada cerita menarik apa di puncak?” tanya Nindy sambil sibuk
mengunyak nasi goreng.
“Hmm
cerita ya? Ga ada sih. Tapii...”
“Aih
tapi apaa. Lo ga cerita ke gue kan. Ayolah Biiin.” Pinta Nindy.
“Yaudah.
Karena gue juga kangen sama lo, nanti malem gue boleh ya nginep dirumah lo. Gue
mau cerita banyaaak banget deh ke sahabat sekaligus sodara gue. Boleh yaaa.”
Kata Bintang. Nindy hanya bisa mengangkat sebelah alisnya.
Sepulang
sekolah, Bintang ditemani Nindy pulang kerumah. Mengambil barang-barang untuk
esok harinya. Setelah bergegas, mereka pamitan ke Bunda lalu melesat pergi.
“Eh,
Bintang. Gue boleh tanya lo ga?” tanya Nindy ragu.
“Yaelah.
Boleh laaah. Kenapa gitu?” kata Bintang sembari merebahkan badan di kasur
Nindy.
“Ko
lo beda ya?? Lo kesambet apa gitu bisa jadi kaya gini?”
“Ha?
Beda apanya? Gue ya gue lah.” Kata Bintang.
“Lo
udah mulai agak ceria gitu. Hayo lo ketemu pangeran di puncak ya???”
“Hiih
pangeran apa? Pangeran rusa??”
“Ayo
dong Biiin. Cerita ke gueee.”
“Oke.
Jadi waktu itu gue lagi duduk di kursi putih biasa........”
Bintang
melanjutkan semua ceritanya.
***
Bernant
berhasil merayu Diana untuk bertemu. Sebenarnya tidak usah dirayupun Diana
bakal mau diajak jalan oleh Bernard. Malam harinya, Bernard berencana menembak
Diana.
“Hei
Bernard. Long time no see. Gimana
kabar lo?” tanya Diana renyah didepan pintu rumahnya.
“Hei
Na. Gue sehat. Lo gimana? Nambah kurus aja?” Bernard basa-basi. Ia mulai agak
canggung dengan Diana.
“Hahaha
iya nih. Mikir kuliah ga ada abisnya. Cape. Gimana kabar Om Prabu?”
“Papah
masih gitu-gitu aja sih. Eh makan yuk.” Ajak Bernard.
Bernard
mengajak Diana ke restoran berbintang. Maklum, Bernard tahu, Diana tidak level
makan di emperan. Tidak seperti Bintang.
Sesampainya
di restoran, mereka berbincang mengenai apa yag sudah dialami masing-masing
dari mereka. Mereka tertawa bersama, sampai larut malam.
“Diana,
gue mau ngomong sesuatu ke lo.” Kata Bernard gugup.
“Whats that?” tanya Diana.
“Lo
mau ga jadi pacar gue?” tanya Bernard sambil memegang tangan Diana.
“Whoops.
Ga salah denger? Hmmm oke gue mau.” Kata Diana mantap.
“Jadi
kita resmi jadian nih? Thanks ya Na.” Diana mengangguk sambil tersenyum.
***
Bintang
terdiam ditengah ceritanya. Ia menyadari sesuatu. Ia sadar jika perhatian
Bernard tidak sepenuhnya ada pada Bintang. Diana.
“Lo
kenapa keliatan sedih gitu Binb?” tanya Nindy.
“Ya
gitu Nin, Bernard ga suka sama gue.” Kata Bintan sedih.
“Apaan
sih. Kalo gue denger dari cerita lo, dia suka lah sama lo. Care banget sama
lo.” Kata Nindy.
“Hmm.
Dia pernah tanya ke gue gimana cara nembak cewe. Gimana cara deketin cewe.”
“Hahaha
kali aja diamau nembak lo?” tebak Nindy.
“Bukan.
Namanya Diana. Dia cewe yang selama ini selalu dibanggain Bernard.” Ucap
Bintang lirih.
“
Anak mana dia?”
“Jakarta.
Satu kampus sama Bernard. Bernard pernah cerita ke gue kalo mereka sama-sama
lahir di Jakarta. Gue juga cerita kalo gue lahir di Jakarta dan gue pengen sekolah
di Yogya bareng Bunda.” Terang Bintang.
“Jadi
sekarang mau lo gimana?” tanya Nindy meremas tangan Bintang.
“Ga
tau. Gue bingung. Dia balik Jakarta tanpa sepengetahuan gue juga. Mungkin cukup
sampai disini aja. Gue hubungin handphone dia juga ga ada respon.” Kata Bintang
pasrah. Keduanya lalu memutuskan untuk tidur.
Bintang
dan Nindy memang lahir di Jakarta. Saat SMA, Bintang memutuskan untuk pindah ke
Yogya untuk menemani bundanya yang bertugas di Yogya. Begitu tahu tentang
rencana kepindahan Bintang, Nindy, sahabat setia Bintang, langsung memohon izin
ibu tercinta untuk ikut dengan Bintang. Beruntung di Yogya, Nindy mempunyai
rumah pribadi milik orangtuanya. Jadi Nindy pindah kerumah tersebut.
“Bangun
Biiiin, udah pagi. Ayo sekolah.” Kata Nindy mengguncang-guncang tubuh Bintang.
“Iya
iya gue bangun.” Kata Bintang bermalas-malasan. Bintang berjalan menuju kamar mandi
Nindy yang berada di luar kamar Nindy.
Bruk. Tiba-tiba Bintang menabrak
seseorang berbadan tinggi. Masih memegang matanya, Bintang mengucek mata dan
melihat siapa yang ditabraknya.
“Eh,
sorry.” Kata Bintang acuh lalu masuk kedalam kamar mandi. Seusai mandi, Bintang
kembali ke kamar untuk merapikan pakaiannya.
“Bin,
makan yuk” kata Nindy dari pintu masuk. Bintang langsung mengikuti.
“Kenalin
Bin, ini Richard. Sepupu gue dari Bandung. Dia kuliah di Havard University
bagian hukum.” Jelas Nindy.
“Hai,
gue Richard. Lo yang tadi pagi nabrak gue kan,” kata Richard menglurkan tangan
pada Bintang. Dengan malu, Bintang berjabat tangan dengan Richard.
“Hehe
sorry ya. Gue Bintang.” Kata Bintang.
“Jadi
tadi pagi lo udah ketemu nih? Waah ati-ati jodoh nih haha.” Ledek Nindy.
Di
sekolah, Bintang menjalani hari-hari seperti biasa. Keceriaannya mulai memudar
lagi.
“Heh,
lo kenapa sih? Masih galau mikir Bernard? Lupain aja deh. Kan udah ada Richard
hihi.” Nindy pagi itu sangat bersemangat untuk meledek Bintang.
“Anjir.
Apaan sih lo. Males ah mikir gitu. Semua cowo sama aja. Akhir-akhirnya pasti
bikin sakit.” Kata Bintang datar.
“Whoaaa
jauh-jauh dari Bintang aah. Ternyata lo lesbi Dear?” ledek Nindy, sembari lari.
“Sialan
looo.” Teriak Bintang mengejar Nindy.
To be continued....
To be continued....
No comments:
Post a Comment