Thursday, January 17, 2013

Bintang (PART 3)


“Gue harus cepet-cepet nembak Diana. Gue ga mau rasa gue ke Bintang jadi lebih dan lebih. Besok gue harus nembak Diana. Harus!” kata Bernard setibanya di vila. Malamnya, Bernard merencanakan sesuatu.
Pagi telah tiba. Seperti biasa, Bernard bangun pagi dan langsung pergi. Ia akan melakukan misinya.
Ting tonnnng. Bel rumah Diana ditekan. Seorang ibu paruh baya keluar mengenakan baju daster dan kemoceng di tangan kanannya.
“Saha akang teh?” tanya ibu tersebut.
“Saya Bernard. Diana ada?”
“Oooh. Neng Diana barusan aja balik Jakarta, Kang. Kumaha?”
“Balik Jakarta??? Makasih ya Biii.” Kata Bernard sembari lari menuju mobilnya.
Bernard berasa gagal. Tapi kerja keras Bernard tidak sampai disitu saja. Bernard berniat esok pagi akan menyusul Diana ke Jakarta. Ia juga harus segera menyelesaikan kuliahnya dan bertemu keluarganya di Jakarta.

Sementara itu, Bintang yang sejak pagi sudah ada di Taman Dorkas, merasa kesepian. Biasanya Bintang menemukan sosok Bernard di kursi putih ini. Bintangpun menunggu beberapa jam.
Tetapi, yang ditunggu tidak juga memunculkan batang hidungnya. Bintang memutuskan untuk pulang. Ya. Niat Bintang untuk bertemu Bernard adalah berpamitan karena Bintang harus melanjutkan sekolahnya Di Yogyakarta.
Di vila,  Bintang berkemas-kemas sangat cepat. Lalu ada satu spot yang membuatnya terdiam lama. Bintang melihat ke arah cermin riasnya. Dia atas cermin itu ada mahkota berhiaskan bunga sudah layu yang diberikan oleh Bernard padanya. Tidak diambil, Bintang membiarkan mahkota itu tetap tergantung di atas cermin.
Pesawat tujuan Yogya akan take off pukul tujuh malam. Jadi Bintang pergi ke Bandara pukul setengah enam sore. Di perjalanan, Bintang terus memikirkan tentang Bernard. Tentang semua yang telah ia alami bersama. Bintang tahu. Ia telah berubah semenjak kehadiran Bernard.
Di bandara, Bintang menunggu di ruang tunggu penumpang. Ia terus menerus memandangi handphone nya. Siapa tahu ada yang menghubunginya. Bernard.
Di tempat yang sama, ternyata Bernard sedang menunggu keberangkatannya. Bernard tidak jadi pulang pagi karena pesawatnya sudah take off jauh sebelum ia tiba. Keberangkatannya diundur menjadi malam. Bernard sebenarnya ingin menghubungi Bintang. Tetapi karena ia ingin menahan rasanya, ia mengurungkan niat tersebut.
Bintang berdiri, Bernard berdiri. Mereka hanya terpaut beberapa meter saja. Tapi sayang, mereka tidak berpapasan. Bernard berjalan ke kiri sedang Bintang berjalan ke kanan.
Di pesawat, Bintang membuka laptopnya.
Disaat gue udah merubah sikap gue, dia pergi. Disaat gue udah nyaman dengan keberadaannya, dia tak kunjung hadir lagi, Disaat gue seneng dengan semua tingkahnya, dia berubah. Andai lo tau perasaan gue ke lo.”
Di pesawat yang berbeda, Bernard berkecamuk dengan fikirannya. Ia ingin membunuh perasaannya pada Bintang. Karena ia sudah terlalu jauh dekat dengan Diana. Ditambah Diana adalah anak dari rekan bisnis ayahnya. Ia tidak mungkin begitu saja melepaskan ikatannya dengan Diana. Ia memang belum menembak Diana. Terapi ia sudah begitu dekat dan ia tahu, Diana mengharapkan dia juga.
Sesampainya di Jakarta, Bernard berbaring di kasur. Ia mencari handphone di tasnya. Lalu menghubungi Diana. Ia akan membuat janji nanti esok.
Bintang yang sudah tiba di Yogya langsung mandi dan istirahat sejenak. Esok hari ia harus melakukan rutinitas seperti biasa.
Keesokan harinya, Bintang berangkat sekolah diantar Pak Ngadimin, sopirnya. Belum sampai di depan gerbang, Bintang meminta berhenti. Ia ingin jalan kaki. Pak ngadimin hanya bisa mengangguk.
“Hei Bintaaaang. Lo kemana aja sih? Puncak? Ko ga ajak-ajak siiih.” Sapa Nindy, sahabatnya.
“Apaan sih lo. Ada tugas apa aja nih?” tanya Bintang.
“Tenang, tugas lo semuanya udah gue kerjain. Jadi nanti istirahat lo harus teraktir gue yaaa.” Kata Nindy.
“Bisa aja lo meres gue haha.”
Bintang dan Nindy sudah bersahabat dari orok. Orang tua mereka bersahabat. Banyak anak-anak mengucapkan ‘dimana ada Bintang, disitu ada Nindy’ begitu sebaliknya.
Bel istirahat berbunyi. Bintang langsung ditarik oleh Nindy. Pastinya menuju kantin. Nindy memang doyan makan. Apalagi jika ditraktir oleh Bintang. Bisa habis sebagor sendiri tuh anak.
“Hmm jadi gimana Bin? Ada cerita menarik apa di puncak?” tanya Nindy sambil sibuk mengunyak nasi goreng.
“Hmm cerita ya? Ga ada sih. Tapii...”
“Aih tapi apaa. Lo ga cerita ke gue kan. Ayolah Biiin.” Pinta Nindy.
“Yaudah. Karena gue juga kangen sama lo, nanti malem gue boleh ya nginep dirumah lo. Gue mau cerita banyaaak banget deh ke sahabat sekaligus sodara gue. Boleh yaaa.” Kata Bintang. Nindy hanya bisa mengangkat sebelah alisnya.
Sepulang sekolah, Bintang ditemani Nindy pulang kerumah. Mengambil barang-barang untuk esok harinya. Setelah bergegas, mereka pamitan ke Bunda lalu melesat pergi.
“Eh, Bintang. Gue boleh tanya lo ga?” tanya Nindy ragu.
“Yaelah. Boleh laaah. Kenapa gitu?” kata Bintang sembari merebahkan badan di kasur Nindy.
“Ko lo beda ya?? Lo kesambet apa gitu bisa jadi kaya gini?”
“Ha? Beda apanya? Gue ya gue lah.” Kata Bintang.
“Lo udah mulai agak ceria gitu. Hayo lo ketemu pangeran di puncak ya???”
“Hiih pangeran apa? Pangeran rusa??”
“Ayo dong Biiin. Cerita ke gueee.”
“Oke. Jadi waktu itu gue lagi duduk di kursi putih biasa........”
Bintang melanjutkan semua ceritanya.
                                                            ***
Bernant berhasil merayu Diana untuk bertemu. Sebenarnya tidak usah dirayupun Diana bakal mau diajak jalan oleh Bernard. Malam harinya, Bernard berencana menembak Diana.
“Hei Bernard. Long time no see. Gimana kabar lo?” tanya Diana renyah didepan pintu rumahnya.
“Hei Na. Gue sehat. Lo gimana? Nambah kurus aja?” Bernard basa-basi. Ia mulai agak canggung dengan Diana.
“Hahaha iya nih. Mikir kuliah ga ada abisnya. Cape. Gimana kabar Om Prabu?”
“Papah masih gitu-gitu aja sih. Eh makan yuk.” Ajak Bernard.
Bernard mengajak Diana ke restoran berbintang. Maklum, Bernard tahu, Diana tidak level makan di emperan. Tidak seperti Bintang.
Sesampainya di restoran, mereka berbincang mengenai apa yag sudah dialami masing-masing dari mereka. Mereka tertawa bersama, sampai larut malam.
“Diana, gue mau ngomong sesuatu ke lo.” Kata Bernard gugup.
Whats that?” tanya Diana.
“Lo mau ga jadi pacar gue?” tanya Bernard sambil memegang tangan Diana.
“Whoops. Ga salah denger? Hmmm oke gue mau.” Kata Diana mantap.
“Jadi kita resmi jadian nih? Thanks ya Na.” Diana mengangguk sambil tersenyum.
                                                ***
Bintang terdiam ditengah ceritanya. Ia menyadari sesuatu. Ia sadar jika perhatian Bernard tidak sepenuhnya ada pada Bintang. Diana.
“Lo kenapa keliatan sedih gitu Binb?” tanya Nindy.
“Ya gitu Nin, Bernard ga suka sama gue.” Kata Bintan sedih.
“Apaan sih. Kalo gue denger dari cerita lo, dia suka lah sama lo. Care banget sama lo.” Kata Nindy.
“Hmm. Dia pernah tanya ke gue gimana cara nembak cewe. Gimana cara deketin cewe.”
“Hahaha kali aja diamau nembak lo?” tebak Nindy.
“Bukan. Namanya Diana. Dia cewe yang selama ini selalu dibanggain Bernard.” Ucap Bintang lirih.
“ Anak mana dia?”
“Jakarta. Satu kampus sama Bernard. Bernard pernah cerita ke gue kalo mereka sama-sama lahir di Jakarta. Gue juga cerita kalo gue lahir di Jakarta dan gue pengen sekolah di Yogya bareng Bunda.” Terang Bintang.
“Jadi sekarang mau lo gimana?” tanya Nindy meremas tangan Bintang.
“Ga tau. Gue bingung. Dia balik Jakarta tanpa sepengetahuan gue juga. Mungkin cukup sampai disini aja. Gue hubungin handphone dia juga ga ada respon.” Kata Bintang pasrah. Keduanya lalu memutuskan untuk tidur.
Bintang dan Nindy memang lahir di Jakarta. Saat SMA, Bintang memutuskan untuk pindah ke Yogya untuk menemani bundanya yang bertugas di Yogya. Begitu tahu tentang rencana kepindahan Bintang, Nindy, sahabat setia Bintang, langsung memohon izin ibu tercinta untuk ikut dengan Bintang. Beruntung di Yogya, Nindy mempunyai rumah pribadi milik orangtuanya. Jadi Nindy pindah kerumah tersebut.
“Bangun Biiiin, udah pagi. Ayo sekolah.” Kata Nindy mengguncang-guncang tubuh Bintang.
“Iya iya gue bangun.” Kata Bintang bermalas-malasan. Bintang berjalan menuju kamar mandi Nindy yang berada di luar kamar Nindy.
Bruk. Tiba-tiba Bintang menabrak seseorang berbadan tinggi. Masih memegang matanya, Bintang mengucek mata dan melihat siapa yang ditabraknya.
“Eh, sorry.” Kata Bintang acuh lalu masuk kedalam kamar mandi. Seusai mandi, Bintang kembali ke kamar untuk merapikan pakaiannya.
“Bin, makan yuk” kata Nindy dari pintu masuk. Bintang langsung mengikuti.
“Kenalin Bin, ini Richard. Sepupu gue dari Bandung. Dia kuliah di Havard University bagian hukum.” Jelas Nindy.
“Hai, gue Richard. Lo yang tadi pagi nabrak gue kan,” kata Richard menglurkan tangan pada Bintang. Dengan malu, Bintang berjabat tangan dengan Richard.
“Hehe sorry ya. Gue Bintang.” Kata Bintang.
“Jadi tadi pagi lo udah ketemu nih? Waah ati-ati jodoh nih haha.” Ledek Nindy.
Di sekolah, Bintang menjalani hari-hari seperti biasa. Keceriaannya mulai memudar lagi.
“Heh, lo kenapa sih? Masih galau mikir Bernard? Lupain aja deh. Kan udah ada Richard hihi.” Nindy pagi itu sangat bersemangat untuk meledek Bintang.
“Anjir. Apaan sih lo. Males ah mikir gitu. Semua cowo sama aja. Akhir-akhirnya pasti bikin sakit.” Kata Bintang datar.
“Whoaaa jauh-jauh dari Bintang aah. Ternyata lo lesbi Dear?” ledek Nindy, sembari lari.
“Sialan looo.” Teriak Bintang mengejar Nindy.

                                                              To be continued....

No comments:

Post a Comment