Clara masih tercengang. Dan melihat ke Bernant. Tak dapat dibendung, Clara
bertanya.
“Maksud lo ajak gue kemari
ngapain? Elo ga inget selama ini kita bukan temen? Lo amnesia? Lo masih waras
kan?” Bernant dibanjiri pertanyaan. Tidak menjawab, Bernant tetap melajukan
mobilnya. Lagi-lagi dia ga jawab pertanyaanku, runtuk Clara.
Mereka memasuki pemukiman
warga. Bukannya berhenti, Bernant tetap menginjak pedal gas. Akhirnya mereka
menjumpai pemukiman berpenduduk sedikit, dan bertempat di atas bukit.
“Ber? Lo ga lagi mimpi kan bawa gue kesini?” ulang Clara.
Bukannya menjawab, Bernant turun dari mobil dan membawa barang-barangnya turun.
“Baju lo udah ada di bagasi.”
Kata Bernant dari bagasi. Clara masih terpaku di tempat duduknya.
“Lo mau turun kaga?” tanya
Bernant membuka pintu Clara.
“Aih iya iya. Sabar dikit kek.
Lo dapet baju gue dari mana?” tanya Clara tersadar.
“Nyokap lo.” Kata Bernant
singkat.
Clara mengikuti Bernant
berjalan menuju suatu rumah. Clara tidak tahu rumah siapa. Rumahnya unik.
Bergaya Belanda. Atau mungkin memang peninggalan Belanda. Semua sudut ruangan
di cat putih kecuali satu ruang yang berwarna merah.
“Ko? Lo beda banget. Lo diem
gitu kenapa sih?” tanya Clara ragu.
“Ini rumah nyokap gue. Dia
ngasih ini waktu gue kecil. Karena gue ga mau, akhirnya rumah ini dikosongin.
Sampe sekarang.” Kata Bernant.
“Oh gitu.” Singkat Clara. Gue
tanya apa, jawabnya apa, batin Clara.
“Gue suka warna merah, gue ke
kamar yang catnya merah yaaa.” Pinta Clara. Belum sampai daun pintu, Bernant
menyergahnya.
“Lo di kamar deket kamar gue.”
Kata Bernant sembari mengambil tas Clara.
“Bzzz banget deh lo. Terserah
deh.”
Clara masuk ke kamarnya.
Mengunci diri. Seusai beberes, Clara merasakan letih. Ia berbaring dan
memejamkan mata.
Diluar, Bernant belum sempat
merilekskan tubuh. Ia terus bergerak. Beberes dan sekarang ia menyiapkan
sesuatu di taman belakang.
Di rumah tersebut, hanya ada
Bernant, Clara dan Mang Parjo, penjaga rumah tersebut. Selagi Bernant
menyiapkan, Mang Parjo bersih-bersih taman.
“Mbak-mbak niku sinten, Den?”
tanya Mang Parjo.
“Oh, anaknya temen papah,
Mang. Mang Parjo udah makan?” kata Bernant
“Dereng,
hehe.” Ucap Mang Parjo malu.
“Dhahar dulu Mang. Didalem ada
makanan kan? Saya bisa nyelesein ini sendiri kok.” Kata Bernant bijak.
“Inggih, kula mlebet riyin
nggih Den. Matur nuwun.” Mang Parjo membungkukkan badannya sebelum meninggalkan
Bernant.
Mang Parjo memang sudah
dipercaya untuk menjaga rumah sejak rumah itu dibangun. Bernant tidak begitu
suka tinggal di rumah tersebut karena suatu hal.
Malam tiba. Clara bangun dan
memutar tubuhnya, mengulet. Ia terkejut saat ia menginjak lantai. Ada sepucuk
surat tergelatak. Clara membacanya.
Gue tunggu di bawah pohon
terbesar...
Clara tahu itu surat dari
Bernant. Tulisan Bernant pernah diperlihatkan oleh Gaby. Ia mandi dan berdandan
ala kadarnya. Ia belum tahu pasti apa yang akan direncanakan Bernant.
Setelah acara dandan selesai,
mata Clara tertarik oleh suatu benda mungil. Di gorden jendelanya, terpasang
jepit rambut berwana hitam. Berkilau terbubuhi beberapa permata. Clara bingung.
Ia melihat ke jendela seberangnya. Ia dapat melihat taman belakang. Ia ingat
pohon besar hanya ada di taman belakang. Dan sontak, Clara terkaget. Taman
belakang sudah tersulap menjadi taman impian. Nuansa putih ditiap sudut. Ia tak
tahu apa yang terjadi, maklum karena terlalu lelah ia tidur seharian. Clara
masih menatap taman belakang dari balik jendelanya. Tiba-tiba terdengar suara
pintu diketok. Clara menghampiri pintu dan membukanya. Ternyata Mang Parjo.
“Den Ayu, niki saking Den
Bernant.” Kata Mang Parjo sembari memberikan kotak besar.
“Makasih Mang. Eh Mang, itu
ditaman belakang mau ada acara apa? Ko udah didekor gitu ya?” tanya Clara.
“Mamang mboten ngertos, Den.
Den Bernant dari tadi yang buat.” Jelas Mang Parjo
Mang Parjo kemudian pergi
meninggalkan Clara. Clara masuk kamar dan menutup lagi pintunya. Ia berfikir.
Apa isi dalam kotak tersebut. Lalu Clara membuka kotak tersebut. Sambil
berjalan menuju kasur, ia mulai membuka kotak berwarna merah tersebut. Clara duduk
di bibir kasurnya, dan melihat isi kotak itu. Ia terkejut. Dress merah maroon
tergeletak di kotak itu. Clara mengambil dan melebarkannya. Sangat elegan dan
seksi. Ia tak tahu maksud Bernant. Ia melihat ke arah taman belakang lagi.
Ternyata sudah ada tulisan “PAKAI DRESS ITU” di depan jendela Clara. Clara
menengok ke arah taman. Namun nihil. Akhirnya Clara mengganti bajunya dan
memakai dress tersebut. Dress merah tanpa lengan, potongan bawah lutut kini
telah menempel di badan Clara. Ia melirik jepit rambut hitam tersebut. Tapi
tidak ia gunakan. Jam menunjukan pukul delapan malam. Clara keluar kamar dengan
hati yang berdebar. Mang Parjo telah memberitahukan Clara agar segera menuju
taman belakang. Clara masih belum paham apa yang akan terjadi.
Di taman belakang, Clara
melihat sekelilingnya. Namun ia tak menemukan siapapun disana. Kemudian Clara
berjalan mendekati kursi taman dan duduk. Ia masih heran, juga penasaran.
to
be continued...