Thursday, January 24, 2013

Bintang (END)


Tahun baru telah tiba. Bintang berlibur lagi ke puncak bersama Nindy dan Richard. Ia ingin menikmati tahun baru pertamanya dengan sang kasih dan sahabatnya. Richard sudah mempersiapkan segala hal yang mereka butuhkan di puncak.
“Bintaaaang. Bantuin gue buat pemanggang siniiii.” Teriak Nindy dari luar halaman. Bintang yang sedari tadi masih dikamar, memperhatikan benda kecil yang pernah sangat berharga untuknya masih tergantung di atas cermin. Tersadar dari lamunannya, Bintang berlari menghampiri Nindy.
Sore datang, setelah mendekor halaman vila Bintang, Nindy dan Richard beristirahat sejenak sedangkan Bintang berjalan-jalan menuju Taman Dorkas. Bintang hanya mengenakan kaos putih tipis karena sedari tadi beberes dan berkeringat.
Tak disangka, ada sosok pria yang sangat familier dimata Bintang. Tetapi kali ini ia sedikit kurus. Rambutnya masih cepak dan berwarna coklat. Bintang sangat yakin jika sosk itu adalah pria yang dulu sempat mengubah hari-harinya. Bintang yang sudah berdegup kencang mulai merencanakan aksinya. Ia ingin terlihat jutek lagi dihadapan sosok tersebut. Bintang berjalan menuju sisi kanan taman itu. Ia langsung duduk di rerumputan dan membuka laptopnya.
Bernard yang sedari tadi merenung di kursi taman merasakan kehadiran seseorang. Ia menengok arah kiri, tapi nihil. Belakang, nihil. Tetapi tiba-tiba pandangan Bernard terhenti di satu titik. Tempat dimana Bintang terduduk. Bintang yang sedang asyik mengetik. Bernard tahu itu kebiasaan Bintang. Rambut Bintang yang dikuncir satu ke atas, rambutnya tak lagi coklat tua melainkan hitam pekat. Tubuh mungilnya yang dulu pernah diangkat oleh Bernard. Seketika bernard merindukan masa-masa itu lagi. Tak membuang waktu, Bernard menghampiri Bintang dan menelungkupkan tangannya di mata Bintang dari arah belakang.
“Woi penculiiiiik. Toloooooong.” Kata Bintang pura-pura panik
“Hahaha hei bocah tengiiil. Kemana aja loooo.” Sapa Bernard riuh
“Balik Yogya. Lo?” tanya Bintang datar.
“Dih, putri cantik berubah jutek lagi nih. Ayolaaah” rayu Bernard.
“Lo kemana aja? Waktu itu gue nunggu lo di taman ini. Gue mau pamitan sama lo. Waktu itu gue mau balik ke Yogya. Lo balik tanpa pamitan sama gue. Lo tega Ber.” Bintang berterus terang.
“Sorry Bintang. Gue.. Gue harus ketemu sama Diana. Dia sakit waktu itu.” Bernard berbohong.
“Lupain. Nanti di villa gue ada acara. Lo dateng bisa?” ajak Bintang.
“Sebisa gue usahain, Princess Bintang.” Bernant mengedipkan satu mata lentikya.
Malam tiba. Acara yang dibuat oleh Bintang, Nindy dan Richard sangat mempesona. Mereka mendekornya seperti keinginan Bintang. Lampu yang sedikit dan hiasan taman nampak seperti mereka berada di hutan sungguhan.
“Hei Bintang, dari tadi gue cariin lo ternyata lo disini. Ngapain sih?” tanya Nindy.
“Hmm gue lagi mikir nih Nin. Tadi gue ketemu sama Bernant. Gue berasa gimana lagi gitu ama dia. Tapi entah deh. Gue kan udah ada Richard. Dia juga udah ada pacar katanya. Gue pengen pendem rasa gue Nin. Tapi ya lo tau lah. Susah.” Kata Bintang di sudut taman yang tak bercaya. Hanya ada satu lampu yang menyinari mereka.
“Oooh jadi gitu. Bernant udah ada di tengah loh. Lo ngundang dia? Iya. Samperin Dia ga bawa cewenya tuh. Lo ga mau nyamperin dia?” tanya Nindy sambil menyikut lengan Bintang.
“Serius tanpa bawa cewenya?” kata Bintang tak percaya.
“Iya. Samperin gih. Soal Richard gampang. Dia lagi sibuk dibelakang sama makanannya hehe.”
Bintang ragu. Ia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Bintang merasa bersalah pada Richard. Richard yang selama ini memberikan kasih tanpa Bintang minta tetapi tidak pada Bintang. Bintang yang selalu ingin mencoba untuk mencintai Richard dengan tulus tapi itu semua gagal karena seseorang. Bernant.
“Heh lo, bengong aja. Buruan gih samperin. Daripada dia ngilang lagi loh. Lo mau kehilangan dia buat yang kesekian kalinya?” sadar Nindy.
“Iya bawel. Thanks dear” Bintang mengecup pipi Nindy.
“Gue normal woi.” Teriak Nindy sepeninggal Bintang.
Dari pinggir taman, Bintang melihat Bernant sedang mencari sesuatu.  
“Bintaaaaang!” kata Bernard berhasil temukan Bintang. Bintang yang dipanggil dengan suara keras itu sontak langsung mengarah ke arah Bernant. Ya, sebelumnya Bintang hanya melamun memandang Bernant dari kejauhan.
“Hei Bin, lo yang punya acara kenapa lo ngumpet gitu?” kata Bernard sembari menggandeng tangan Bintang dan mengajaknya ke kursi taman yang berada di belakang acara. Ditemani cahaya nan redup, mereka berbincang tentang apa yang telah terjadi saat mereka terpisah.
“Gue bosen sama Richard. Dia terlalu sayang sama gue. Tapi gue yang nyoba cinta ke dia selalu gagal. Gue malah berasa eneg diperlakuin bak putri gitu. Lo tau kan gue paling ga suka digituin. Tapi dilain sisi gu juga berasa bersalah. Dia kasih gue apa yang ga gue minta. Dia udah korbanin waktunya buat gue. Gue bingung banget harus gimana.” Kata Bintang serius.
“Yaudah, sekarang semua terserah di elo. Orang paling jujur itu hati kecil kita masing-masing. Dari hati kecil lo itu, kalo lo mau ikutin pasti lo bakal lega.” Bernard mengelus pundak Bintang. Bintang merasa gugup lalu mengalihkan pembicaraan.
“Kalo lo gimana?” tanya Bintang.
“Gimana apa?” canda Bernard.
“Gue serius. Gimana elo sama mmm sama...” Bintang tidak meneruskan kalimatnya karena terlalu sakit untuk mengatakan nama perempuan yang telah menjajah hati Bernard lebih dahulu.
“Diana? Gue udah putus. Gue putusin dia sebelum dateng ke puncak ini. Gue ga tahan sama kelakuan dia. Terlalu gila shopping, selalu minta anter shopping, ke salon, dan lain-lain. Gue berasa bukan jadi pacarnya tapi sopirnya. Gue cape. Dan hati kecil gue udah pilih seseorang. Otomatis gue putusin Diana.” Terang Bernard. Bintang tak dapat berkata-kata lagi.
“Gue sayang sama lo, Bin. Gue terlalu ngelak untuk ga cinta sama lo tapi gue gagal. Awalnya gue nembak Diana karena gue pengen pendem perasaan gue ke elo. Maaf, Bin.” Sesal Bernard. Bintang langsung beranjak berdiri dan menyerang Bernard dengan mata tajamnya.
“Lo tega Ber. Waktu awal lo dateng, gue udah ngerasa nyaman. Tapi apa kenyataannya? Lo pergi gitu aja. Lo ga pernah balik lagi. Lo ga pernah hubungin gue. Lo ga tau kan gue nahan sakit tiap lo  cerita tentang Diana? Lo ga tau  kan hati gue pengen banget deket sama lo. Tapi lo pergi sama Diana. Lo pergi tinggalin gue. Sadar lo Ber?” isak Bintang tak dapat membendung air matanya. Bernard mendudukan Bintang disampingnya. Mendekap Bintang dengan hangat. Bintang terus terisak.
“Udah Bintang. Gue sebenernya udah tau. Tapi gue udah kenal Diana duluan. Diana juga notabene anak rekan kerja bokap gue. Jadi gue ga enak sama Diana. Sorry Bin.” Bernard mengelus rambut Bintang yang coklat itu.
Mereka terdiam hingga Nindy memanggil Bintang dari kajauhan.
“Bintaaang. Ayo sini kumpul. Udah hampir tengah malem looo. Sini giih.” Kata Nindy.
Bintang dan Bernard berjalan dalam diam. Richard yang sedari tadi memperhatikan mereka mulai sadar. Richard sudah merencanakan sesuatu usai acara tahun baru ini.
Treeeet troeeeeet treeeeeeeet suara terompet riuh membahana. Bunga api melucur dengan lancar ke atap hitam penuh bintang itu. Richard menggenggam tangan Bintang sementara Bintang melihat ke arah Bernard yang sedang tersenyum padanya. Bintang tak membalas senyum itu.
Acara berakhir dengan mengucap permohonan. Mereka semua memejamkan mata.
Aku ingin bahagia, Tuhan. Aku ingin mengenal Bernard lebih jauh. Tapi aku merasa bersalah dengan Richard. Tolong aku, Tuhan. Bantu aku memilih keputusan.” Ucap Bintang dalam hati.
Usai malam itu, kini Bintang mengajak Richard pergi ke Taman Dorkas. Bintang ingin ungkapkan semua yang ada dibenaknya.
“Richard, aku tau aku salah. Maafin aku. Tapi aku memang kurang nyaman sama hubungan kita. Aku pengen kita jadi temen atau sahabat aja. Aku bener-benere ga tau harus gimana lagi. Tapi menurut kata hati aku, ini yang harus aku lakuin. Maaf Chard.” Ungkap Bintang lirih.
“Iya, aku tau Bintang. Aku memang bukan untuk kamu. Dan kamu memang bukan untuk aku. Maaf kalo selama ini aku ga bisa bahagiain kamu.” Belum sempat Richard meneruskan kalimatnya, Bintang menyanggah.
“Engga. Kamu orang paling baik yang pernah ada. Kamu lakuin apa aja buat aku bahagia..” Richard menempelkan telunjuknya di bibir Bintang pertanda harus diam.
“Ga ada yang perlu dijelasin lagi, Bintang. Aku udah tau semuanya. Kalo aku masih tetep disini, aku cuman jadi penghalang buat kamu. Aku ada kejutan buat kamu.” Kata Richard. Dia menolehkan kepalanya ke belakang. Lalu Bernard datang dari balik pohon.
“Richard?” kata Bintang penuh tanda tanya.
“Iya, aku tau cinta kamu sebenarnya itu buat Bernard. Jadi sebelum kita putus, aku mau minta sesuatu dari kamu.”
“Apa?”
“Cintai Bernard, jangan kamu lepas lagi dia.” Ucap Richard menggapain tangan Bintang dan menaruhnya di tangan Bernard.
“Buat lo, Bernard. Jaga Bintang. Jangan sakiti dia. Kalo ada apa-apa sama Bintang awas lo.” Kata Richard.
“Thanks Chard.” Kata Bintang penuh haru.
Sepeniggal Richard, mereka berdua duduk di tepi taman. Bernard merangkul dan mendekap erat Bintang.
“Aku ga bakal ngelepas kamu lagi, Bintang.” Ucap Bernard sembari mengecup kening Bintang 

Wednesday, January 23, 2013

Bintang Yang Meredup

Kita yang mencari dan pahami isi hati
Lelah ditengah jalannya dan hentikan cerita

Kaulah bintangku yang meredup perlahan
terambil cahayanya

Kaulah bintangku yang meredup perlahan
tak lagi terangi malamku

Tak ada manusia sempurna
Dapatkah kau terima
Dan engkau kan terus mencari
pengisi kosong hati


Kaulah bintangku yang meredup perlahan
terambil cahayanya
Kaulah bintangku yang meredup perlahan
tak lagi terangi malamku

Untittled

Hohoho i just got my photo. My memories haha
Yep, exactly my special new year eve. U wanna see that??
Because I'm a kindness girl, so i'll show you hehe
 
Hahaha his name is Edo Gilang Pratama. Son of my mother's friend. He always take a picture everywhere i think hihi

Do you think you're cute? hihi =))

Whooooa the one so scary maaan

They're Jannet, Dhandy, Edo, and Gilang :)

Yuhuuu that's my first time to take a pict with them. From left to the right, there are Inot, Willy, Dhandy, Jannet, Me, Edo, Bagas, Gilang and Artha

I don;t know who's take that pict. His a sallerman

Yuhuuuu nice pick i thought. I love them!

Yihaaaaa. So cute guys. I liketheir smile. hehe

Hohoho i'm so nervous doing that :"

Yep, I show u my "nyente" face hoho

Spread spread spread! haha

Whoooops, suddenly i found it on my flash. And i thought Artha made it. hmmm :/

Straight face on my face. the other still show their best pose hehe

Again???

On the light hihihi.




So guys, evertyhing we've done, i can't forget it easily. Thanks guys for that night. You're my best from my best :*


Segerombol Pejuang Cilik


Segerombol anak kecil berlarian menyusuri sungai
Sungai deras arus
Mereka mencincing tas besar dan keranjang rotan
Mereka mampir ke pasar tuk titipkan dagangannya
Tak beralaskan kaki tak berkaos kaki
Tak sorang tahu apa yang dialaminya
Gerombolan yang gigih menerjang ombak sungai
Gerombolan nan penuh semangat berkobar
Mereka ingin baiki nasib
Nasib yang selama ini buat mereka menderita
Tapi tidak kelak
Mereka gigih cari ilmu
Walau tempat tanpa atap tanpa keramik
Mereka berjuang dapatkan ilmu
Walau tak ada buku tak ada alat tulis
Mereka gigih bantu orang tua
Walau hanya kumpulkan kerang kecil dari sungai
Gerombolan itu saling menjaga satu sama lain
Saling tolong walau masing-masing kekurangan
Pinta mereka pada penguasa
Kami ingin hidup layak
Bisik mereka pada raja
Kami ingin raih cita
Rintih mereka dalam hati
Kami harap tak akan ada lagi orang seperti kami
Ucap mereka dalam doa
Semoga negeri ini jaya....

Perahu Kertas


                                                                                
Daku berangkat dari Pelabuhan Hati
Menuju pelabuhan selanjutnya
Daku menyusuri samudera-samudera
Berharap temukan daratan
Lama kumenyusur tak temukan jua
Satu abad berlalu
Daku mencari darat di ujung pandang
Daku temukannya
Ku banting setir menuju daratan itu
Daratan nan jauh dimata
Daratan yang menggiurkan
Nampak dari teleskop, daratan penuh dengan rempah-rempah
Daku percepat perahu
Berharap lekas mendarat
Daku siapkan hati
Daratan tak jua sampai
Ku teropong kemudian
Jarak masih sama
Terlampau jauh
Perahu kecepatan maksimal
Menyambar penghuni laut dan kuacuhkan
Ku perhatikan daratan itu
Semakin dekat tapi semakin lama
Daku hampir sampai
Kusiapkan jangkar untuk mendarat
Hatiku berdegup tak sabar injakkan kaki pada darat
Daku sampai!
Daratan itu
Kini telah berubah menjadi daratan yang tak istimewa
Ternyata daratan itu sudah ada penjajah
Daku sadar, perahu ini hanya perahu kecil
Yang tak dapat kalahkan kekuatan penjajah itu
Daku sadar, perahu ini perahu kecil
Yang berjalan terlalu lama
Dan terdahului penjajah
Daku sadar, perahu ini perahu kertas
Tak dapat menggapai daratan nan jauh itu...

Saturday, January 19, 2013

Unreal

kadang kita harus melepaskan dia yang kita cinta
Dia yang kita cinta
Melepas cinta yang tak mungkin bisa tuk diraih
Memang kenyataan sulit tuk dipraktikan
Kadang kita harus melepaskan seorang yang kita cinta
Untuk melihat dia bahagia bersama orang lain
Lebih baik dicintai satu orang daripada mencintai sepuluh orang
Lebih baik melepas dia yang kita cinta daripada melihat dia bersama yang lain dan hati menjadi sakit
Aih, memang bisa?
Memang semudah itu melupakan?
Melupakan?
Bukan melupakan pertemanan
Tapi lupakan perasaan
Heeei perasaan mendalam seringkali buat sulit tuh dikontrol
Perasaan mendalam acap kali buat sakit
Tapi sebenarnya sakit yang nyata adalah tidak menerima karena alasan irrasional
Itu kah alasanmu?
Entah
Jujur, aku letih tuk semua ini
Namun dalam lubuk hati aku ingin perjuangkan perangku yang belum usai
Namun bisakah?
Sementara dibelakangmu terdapat dia yang kau cinta?
Sudah.
Berharap
Hanya bisa berharap dan berdoa
Semoga kita tenang di dunia kita masing-masing
Maaf saat ini aku belum sepenuhnya membuang rasa itu
Maaf
Aku masih mengharapkanmu
tapi biarlah kupendam rasa itu
Rasa yang tak pernah diketahui siapapun

Tiba-tiba aku merindukanmu, Tuan. Benar-benar merindukanmu...

Tuan Ber


Tuan, sepertinya aku menyerah
Percuma kulakukan apaun untukmu tapi tak kunjung ada timbal balik
Tuan, aku lelah
Tuan, telah lama aku berlayar
Kukira kapalku akan segera berlabuh
Tapi salah, aku masih harus berlayar
Berlayar entah sampai kapan
Berlayar entah kemana arah
Berlayar mungkin tak berlabuh lagi
Aku ingin kau mengerti namun sebaliknya. Kau acuhkan dan kau pergi bersamanya
Tuan aku mohon ampun
Kasih tak pernah bisa tuk dipaksa
Awal, kurasa cocok bersama
Namun salah
Aku mundur, Tuan
Bukan karena aku kalah
Ada sorang mengatakan padaku
Kasih itu dipilih bukan memilih
Kasih itu dia yang mencintai kita, memberi kita tanpa kita minta
Kasih itu layaknya hujan
Jika hujan gerimis, hujan itu berlangsung lama
Namun jika deras, hujan hanya sekejap
Seperti halnya kasih kita Tuan
Mungkin ini seperti hujan deras
Terburu mencintai, namun tak menjadi
Tuan, kali ini aku ingin menganggapmu sebagai sahabat
Menganggap kau tak lenih dari kakak yang sangat baik
Tuan, masih bolehkah kupanggilmu dengan sebutan itu?
Tuan, masih bolehkah ku ingat tentang kejadian itu?
Tuan, bolehkah aku menyimpan kenangan itu?

Friday, January 18, 2013

ogl

Aku tak pernah menginginkan siapapun datang kehatiku
Aku tak pernah meminta siapapun mengobati rasa sakitku
Aku tak pernah memohon tuk dikasihi
Aku tak pernah memohon untuk berbagi hati
Tapi kau datang
Kau buatku nyaman
kau beriku bahagia yang berlebih
Kau beriku harapan
Aku senang
Tapi, kau pergi
Pergi tanpa belas kasih
Tanpa pamit
Kau kira aku anak kecil
Kau kira aku masih ingusan
Apa kau tahu?
Aku menginginkanmu
Tapi kau inginkan dia
Salahkah?
Atau aku harus mengalah?
Kalah atas dia?
Lupakan?
Melupakan demi dia yang kau cinta?
Mencintai tak  harus memiliki
Bullshit
Hanya omongan sampah tak penting
Munafik!
Semua orang ingin mencintai dan dicinta
Tak mungkin ada orang ingin mencinta tanpa dicinta
Kau sadar?
Belum?
Biar aku beritahu
Aku mencintaimu.
Tak cukupkah itu?
Kau ingin aku lupakanmu?
Andai....

Mencinta Dicinta


Cinta...
Orang bilang cinta itu indah
Orang bilang cinta itu anugerah
Orang bilang cinta itu keajaiban
Cinta....
Apa guna cinta bila berakhir menyakitkan
Apa guna bila cinta itu tak pernah sampai
Atau, cinta itu tak tertanggapi
Memang kadang cinta itu menyenangkan
Bagi yang dicintai
Cinta menyenangkan, bagi cinta yang tergapai
Lebih baik dicintai dari pada mencintai
Itu kata orang
Apa guna mencintai seseorang tetapi kita tak bisa menggapai cintanya?
Hanya sakit yang didapat
Apa guna dicintai bila orang yang mencintai kita tak kita suka?
Bisa dicoba
Kita bisa belajar mencintai orang yang mencintai kita
Tapi kadang rasa suka kita kepada orang yangkita cinta lebih kuat
Cinta yang kelam akan berubah menjadi terang jika orang yang kita cintai mencintai kita
Tapi itu jarang
Cinta cinta cinta...
Andai orang yang kita cinta dapat mengerti
Mengerti?
Mungkin mereka yang kita cinta sudah mengerti apa perasaan kita
Tapi mengapa mereka tak lekas membalas?
Benar, cinta itu tak akan terbalas?
Benar kita akan melupakannya?
Melupakan cinta yang pernah ada?
Tak segampang ucapan!
Andai dia tahu
Jujur inginku tak lupakanmu
Jujur inginku bersamamu
Jujur inginku menggapai bintang dihatimu...

Bintang (PART4)


“Bernard sayang, temenin gue ke salon yuuuk. Gue mau facial, creambath, menipedi pokonya perawatan deh. Sebulan lebih ga ke salon nih.” Pinta Diana manja.
“Iya sayang. Tapi nanti ya setelah kerjaan gue kelar.” Kata Bernard masih terus mengetik di laptopnya.
“Jangan lama-lama yaaa.” Kata Diana.
Bernard sedang ada tugas akhir semester. Dia harus cepat-cepat menyelesaikan tugas itu jika ingin lanjut ke semester lanjutnya. Sementara Diana, dia sudah membayar orang untuk mengerjakan semua tugasnya, alhasil sekarang Diana selalu bermanja-manja dengan Bernard.
“Udah selesai, Honey?” tanya Diana.
“Yuk.” Kata Bernard singkat.
Hari demi hari Bernard habiskan dengan menemani kegiatan Diana. Tetapi giliran Bernard meminta Diana menemani kegiatan Bernard, pasti ditolak oleh beberapa alasan Diana. Tetapi Bernard menanggapinya dengan sabar. Karena rasa cintanya pada Diana tak terkalahkan oleh apapun.
Disalon, sementara Diana melakukan treatment-nya, Bernard tiba-tiba teringat oleh Bintang.
“Gimana keadaan Bintang disana? Apa dia masih sering ke puncak?” ucap Bernard lirih.
                                                ***
“Bintaaang. Keluar yuuuk.” Kata Richard diseberang telfon.
“Kemana? Sama Nindy?”
“Gimana kalo kita nonton? Gue jemput lo jam tujuh malem yaa” ajak Richard.
“Oke.”
Lima bulan sudah Bintang akrab dengan Richard. Richard memang sudah lulus kuliah dari Havard University dan sekarang dia menjadi pengacara kondang. Hari-hari Bintang selalu diisi dengan cerita-cerita yang menyenangkan. Tetapi mereka tak kunjung memutuskan hubungan apapun. Mereka masih berteman akrab.
“Hei Bin, siap berangkat?” tanya Richard ketika dibukakan pintu rumah Bintang.
“Yep. Mana Nindy?”
“Tadi dia ga ada dirumah. Katanya sih mau nyusul. Yuk. Keburu telat filmnya.” Kata Richard. Mereka berangkat dengan mobil alpart hasil jerih payah Richard selama menjadi pengacara.
Sesampainya di depan bioskop, mereka tak langsung masuk karena Bintang ingin menunggu sahabatnya, Nindy.
“Nindy mana?” tanya Bintang.
“Dih kaya ga ngerti aja lo. Nindy kan kebiasaan molor. Masuk duluan yuk.” Kata Richard sembari masuk ke studio 2.
Sepulang dari bioskop, mereka berdua pergi ke cafe yang jaraknya tak begitu jauh dari bioskop.
“Bin, gue boleh nutup mata lo ga?” kata Richard sesampainya didepan cafe. Bintang mengangguk. Richard langsung memakaikan slayer di mata Bintang. Richard membimbing Bintang untuk dapat masuk ke cafe tersebut.
“Surpriseeee” kata Richard setelah membuka ikatan pada mata Bintang.
“Ya Tuhan. Bagus banget Chard.” Kata Bintang terharu sambil mendekap mulutnya. Cafe tersebut didesain sangat menarik. Cafe kuno peninggalan sejarah, bangunannya berwarna putih. Didalamnya dihiasi oleh beberapa bunga terompet putih. Bergaya vintage. Di dekat meja makan, ada sebuh kolam kecil. Disana terapung lilin-lilin yang membentuk tulisan I LOVE U.
“Will u be mine?” tanya Richard.
Dengan penuh rasa haru, Bintang menjawab, “Yes I’m”
Akhirnya Bintang resmi menjadi bagian hidup dari Richard.
                                                ***
Diana jatuh sakit. Ia sakit karena dari pagi hingga malam ia menghabiskan waktunya dengan William. Mantan kasihnya. Setelah bersenang-senang seharian, Diana terjatuh sakit. Orang tua Diana sedang pergi keluar negeri. Alhasil, Bernard lah yang merawatnya.
“Thanks Ber. Lo emang pacar terbaik gue.’ Ucap Diana lemah. Bernard hanya mengangguk. Dia merasa selama ini Diana tidak melihat pengorbanan-pengorbanan Bernard. Tetapi Bernard tetap ingin berjuang mempertahankan cintanya pada Diana. Ia ingin membukakan mata Diana.
Malam hari, Bernard sengaja tidur di rumah Diana. Panas Diana belum juga pulih. Dokter pribadipun sudah dipanggil. Bernard negompres dahi Diana. Diana yang sedari tadi hanya bisa menggigil, mulai menutup mata. Bernard melihat wajah Diana yang sedang tertidur.
“Gue suka muka lo. Polos waktu tidur.” Ucap Bernard lirih sambil mengecup dahi Diana.

                                                                                    to be continued....

Thursday, January 17, 2013

Bintang (PART 3)


“Gue harus cepet-cepet nembak Diana. Gue ga mau rasa gue ke Bintang jadi lebih dan lebih. Besok gue harus nembak Diana. Harus!” kata Bernard setibanya di vila. Malamnya, Bernard merencanakan sesuatu.
Pagi telah tiba. Seperti biasa, Bernard bangun pagi dan langsung pergi. Ia akan melakukan misinya.
Ting tonnnng. Bel rumah Diana ditekan. Seorang ibu paruh baya keluar mengenakan baju daster dan kemoceng di tangan kanannya.
“Saha akang teh?” tanya ibu tersebut.
“Saya Bernard. Diana ada?”
“Oooh. Neng Diana barusan aja balik Jakarta, Kang. Kumaha?”
“Balik Jakarta??? Makasih ya Biii.” Kata Bernard sembari lari menuju mobilnya.
Bernard berasa gagal. Tapi kerja keras Bernard tidak sampai disitu saja. Bernard berniat esok pagi akan menyusul Diana ke Jakarta. Ia juga harus segera menyelesaikan kuliahnya dan bertemu keluarganya di Jakarta.

Sementara itu, Bintang yang sejak pagi sudah ada di Taman Dorkas, merasa kesepian. Biasanya Bintang menemukan sosok Bernard di kursi putih ini. Bintangpun menunggu beberapa jam.
Tetapi, yang ditunggu tidak juga memunculkan batang hidungnya. Bintang memutuskan untuk pulang. Ya. Niat Bintang untuk bertemu Bernard adalah berpamitan karena Bintang harus melanjutkan sekolahnya Di Yogyakarta.
Di vila,  Bintang berkemas-kemas sangat cepat. Lalu ada satu spot yang membuatnya terdiam lama. Bintang melihat ke arah cermin riasnya. Dia atas cermin itu ada mahkota berhiaskan bunga sudah layu yang diberikan oleh Bernard padanya. Tidak diambil, Bintang membiarkan mahkota itu tetap tergantung di atas cermin.
Pesawat tujuan Yogya akan take off pukul tujuh malam. Jadi Bintang pergi ke Bandara pukul setengah enam sore. Di perjalanan, Bintang terus memikirkan tentang Bernard. Tentang semua yang telah ia alami bersama. Bintang tahu. Ia telah berubah semenjak kehadiran Bernard.
Di bandara, Bintang menunggu di ruang tunggu penumpang. Ia terus menerus memandangi handphone nya. Siapa tahu ada yang menghubunginya. Bernard.
Di tempat yang sama, ternyata Bernard sedang menunggu keberangkatannya. Bernard tidak jadi pulang pagi karena pesawatnya sudah take off jauh sebelum ia tiba. Keberangkatannya diundur menjadi malam. Bernard sebenarnya ingin menghubungi Bintang. Tetapi karena ia ingin menahan rasanya, ia mengurungkan niat tersebut.
Bintang berdiri, Bernard berdiri. Mereka hanya terpaut beberapa meter saja. Tapi sayang, mereka tidak berpapasan. Bernard berjalan ke kiri sedang Bintang berjalan ke kanan.
Di pesawat, Bintang membuka laptopnya.
Disaat gue udah merubah sikap gue, dia pergi. Disaat gue udah nyaman dengan keberadaannya, dia tak kunjung hadir lagi, Disaat gue seneng dengan semua tingkahnya, dia berubah. Andai lo tau perasaan gue ke lo.”
Di pesawat yang berbeda, Bernard berkecamuk dengan fikirannya. Ia ingin membunuh perasaannya pada Bintang. Karena ia sudah terlalu jauh dekat dengan Diana. Ditambah Diana adalah anak dari rekan bisnis ayahnya. Ia tidak mungkin begitu saja melepaskan ikatannya dengan Diana. Ia memang belum menembak Diana. Terapi ia sudah begitu dekat dan ia tahu, Diana mengharapkan dia juga.
Sesampainya di Jakarta, Bernard berbaring di kasur. Ia mencari handphone di tasnya. Lalu menghubungi Diana. Ia akan membuat janji nanti esok.
Bintang yang sudah tiba di Yogya langsung mandi dan istirahat sejenak. Esok hari ia harus melakukan rutinitas seperti biasa.
Keesokan harinya, Bintang berangkat sekolah diantar Pak Ngadimin, sopirnya. Belum sampai di depan gerbang, Bintang meminta berhenti. Ia ingin jalan kaki. Pak ngadimin hanya bisa mengangguk.
“Hei Bintaaaang. Lo kemana aja sih? Puncak? Ko ga ajak-ajak siiih.” Sapa Nindy, sahabatnya.
“Apaan sih lo. Ada tugas apa aja nih?” tanya Bintang.
“Tenang, tugas lo semuanya udah gue kerjain. Jadi nanti istirahat lo harus teraktir gue yaaa.” Kata Nindy.
“Bisa aja lo meres gue haha.”
Bintang dan Nindy sudah bersahabat dari orok. Orang tua mereka bersahabat. Banyak anak-anak mengucapkan ‘dimana ada Bintang, disitu ada Nindy’ begitu sebaliknya.
Bel istirahat berbunyi. Bintang langsung ditarik oleh Nindy. Pastinya menuju kantin. Nindy memang doyan makan. Apalagi jika ditraktir oleh Bintang. Bisa habis sebagor sendiri tuh anak.
“Hmm jadi gimana Bin? Ada cerita menarik apa di puncak?” tanya Nindy sambil sibuk mengunyak nasi goreng.
“Hmm cerita ya? Ga ada sih. Tapii...”
“Aih tapi apaa. Lo ga cerita ke gue kan. Ayolah Biiin.” Pinta Nindy.
“Yaudah. Karena gue juga kangen sama lo, nanti malem gue boleh ya nginep dirumah lo. Gue mau cerita banyaaak banget deh ke sahabat sekaligus sodara gue. Boleh yaaa.” Kata Bintang. Nindy hanya bisa mengangkat sebelah alisnya.
Sepulang sekolah, Bintang ditemani Nindy pulang kerumah. Mengambil barang-barang untuk esok harinya. Setelah bergegas, mereka pamitan ke Bunda lalu melesat pergi.
“Eh, Bintang. Gue boleh tanya lo ga?” tanya Nindy ragu.
“Yaelah. Boleh laaah. Kenapa gitu?” kata Bintang sembari merebahkan badan di kasur Nindy.
“Ko lo beda ya?? Lo kesambet apa gitu bisa jadi kaya gini?”
“Ha? Beda apanya? Gue ya gue lah.” Kata Bintang.
“Lo udah mulai agak ceria gitu. Hayo lo ketemu pangeran di puncak ya???”
“Hiih pangeran apa? Pangeran rusa??”
“Ayo dong Biiin. Cerita ke gueee.”
“Oke. Jadi waktu itu gue lagi duduk di kursi putih biasa........”
Bintang melanjutkan semua ceritanya.
                                                            ***
Bernant berhasil merayu Diana untuk bertemu. Sebenarnya tidak usah dirayupun Diana bakal mau diajak jalan oleh Bernard. Malam harinya, Bernard berencana menembak Diana.
“Hei Bernard. Long time no see. Gimana kabar lo?” tanya Diana renyah didepan pintu rumahnya.
“Hei Na. Gue sehat. Lo gimana? Nambah kurus aja?” Bernard basa-basi. Ia mulai agak canggung dengan Diana.
“Hahaha iya nih. Mikir kuliah ga ada abisnya. Cape. Gimana kabar Om Prabu?”
“Papah masih gitu-gitu aja sih. Eh makan yuk.” Ajak Bernard.
Bernard mengajak Diana ke restoran berbintang. Maklum, Bernard tahu, Diana tidak level makan di emperan. Tidak seperti Bintang.
Sesampainya di restoran, mereka berbincang mengenai apa yag sudah dialami masing-masing dari mereka. Mereka tertawa bersama, sampai larut malam.
“Diana, gue mau ngomong sesuatu ke lo.” Kata Bernard gugup.
Whats that?” tanya Diana.
“Lo mau ga jadi pacar gue?” tanya Bernard sambil memegang tangan Diana.
“Whoops. Ga salah denger? Hmmm oke gue mau.” Kata Diana mantap.
“Jadi kita resmi jadian nih? Thanks ya Na.” Diana mengangguk sambil tersenyum.
                                                ***
Bintang terdiam ditengah ceritanya. Ia menyadari sesuatu. Ia sadar jika perhatian Bernard tidak sepenuhnya ada pada Bintang. Diana.
“Lo kenapa keliatan sedih gitu Binb?” tanya Nindy.
“Ya gitu Nin, Bernard ga suka sama gue.” Kata Bintan sedih.
“Apaan sih. Kalo gue denger dari cerita lo, dia suka lah sama lo. Care banget sama lo.” Kata Nindy.
“Hmm. Dia pernah tanya ke gue gimana cara nembak cewe. Gimana cara deketin cewe.”
“Hahaha kali aja diamau nembak lo?” tebak Nindy.
“Bukan. Namanya Diana. Dia cewe yang selama ini selalu dibanggain Bernard.” Ucap Bintang lirih.
“ Anak mana dia?”
“Jakarta. Satu kampus sama Bernard. Bernard pernah cerita ke gue kalo mereka sama-sama lahir di Jakarta. Gue juga cerita kalo gue lahir di Jakarta dan gue pengen sekolah di Yogya bareng Bunda.” Terang Bintang.
“Jadi sekarang mau lo gimana?” tanya Nindy meremas tangan Bintang.
“Ga tau. Gue bingung. Dia balik Jakarta tanpa sepengetahuan gue juga. Mungkin cukup sampai disini aja. Gue hubungin handphone dia juga ga ada respon.” Kata Bintang pasrah. Keduanya lalu memutuskan untuk tidur.
Bintang dan Nindy memang lahir di Jakarta. Saat SMA, Bintang memutuskan untuk pindah ke Yogya untuk menemani bundanya yang bertugas di Yogya. Begitu tahu tentang rencana kepindahan Bintang, Nindy, sahabat setia Bintang, langsung memohon izin ibu tercinta untuk ikut dengan Bintang. Beruntung di Yogya, Nindy mempunyai rumah pribadi milik orangtuanya. Jadi Nindy pindah kerumah tersebut.
“Bangun Biiiin, udah pagi. Ayo sekolah.” Kata Nindy mengguncang-guncang tubuh Bintang.
“Iya iya gue bangun.” Kata Bintang bermalas-malasan. Bintang berjalan menuju kamar mandi Nindy yang berada di luar kamar Nindy.
Bruk. Tiba-tiba Bintang menabrak seseorang berbadan tinggi. Masih memegang matanya, Bintang mengucek mata dan melihat siapa yang ditabraknya.
“Eh, sorry.” Kata Bintang acuh lalu masuk kedalam kamar mandi. Seusai mandi, Bintang kembali ke kamar untuk merapikan pakaiannya.
“Bin, makan yuk” kata Nindy dari pintu masuk. Bintang langsung mengikuti.
“Kenalin Bin, ini Richard. Sepupu gue dari Bandung. Dia kuliah di Havard University bagian hukum.” Jelas Nindy.
“Hai, gue Richard. Lo yang tadi pagi nabrak gue kan,” kata Richard menglurkan tangan pada Bintang. Dengan malu, Bintang berjabat tangan dengan Richard.
“Hehe sorry ya. Gue Bintang.” Kata Bintang.
“Jadi tadi pagi lo udah ketemu nih? Waah ati-ati jodoh nih haha.” Ledek Nindy.
Di sekolah, Bintang menjalani hari-hari seperti biasa. Keceriaannya mulai memudar lagi.
“Heh, lo kenapa sih? Masih galau mikir Bernard? Lupain aja deh. Kan udah ada Richard hihi.” Nindy pagi itu sangat bersemangat untuk meledek Bintang.
“Anjir. Apaan sih lo. Males ah mikir gitu. Semua cowo sama aja. Akhir-akhirnya pasti bikin sakit.” Kata Bintang datar.
“Whoaaa jauh-jauh dari Bintang aah. Ternyata lo lesbi Dear?” ledek Nindy, sembari lari.
“Sialan looo.” Teriak Bintang mengejar Nindy.

                                                              To be continued....