Tahun
baru telah tiba. Bintang berlibur lagi ke puncak bersama Nindy dan Richard. Ia
ingin menikmati tahun baru pertamanya dengan sang kasih dan sahabatnya. Richard
sudah mempersiapkan segala hal yang mereka butuhkan di puncak.
“Bintaaaang.
Bantuin gue buat pemanggang siniiii.” Teriak Nindy dari luar halaman. Bintang
yang sedari tadi masih dikamar, memperhatikan benda kecil yang pernah sangat
berharga untuknya masih tergantung di atas cermin. Tersadar dari lamunannya,
Bintang berlari menghampiri Nindy.
Sore
datang, setelah mendekor halaman vila Bintang, Nindy dan Richard beristirahat
sejenak sedangkan Bintang berjalan-jalan menuju Taman Dorkas. Bintang hanya
mengenakan kaos putih tipis karena sedari tadi beberes dan berkeringat.
Tak
disangka, ada sosok pria yang sangat familier dimata Bintang. Tetapi kali ini
ia sedikit kurus. Rambutnya masih cepak dan berwarna coklat. Bintang sangat yakin
jika sosk itu adalah pria yang dulu sempat mengubah hari-harinya. Bintang yang
sudah berdegup kencang mulai merencanakan aksinya. Ia ingin terlihat jutek lagi
dihadapan sosok tersebut. Bintang berjalan menuju sisi kanan taman itu. Ia
langsung duduk di rerumputan dan membuka laptopnya.
Bernard
yang sedari tadi merenung di kursi taman merasakan kehadiran seseorang. Ia
menengok arah kiri, tapi nihil. Belakang, nihil. Tetapi tiba-tiba pandangan
Bernard terhenti di satu titik. Tempat dimana Bintang terduduk. Bintang yang
sedang asyik mengetik. Bernard tahu itu kebiasaan Bintang. Rambut Bintang yang
dikuncir satu ke atas, rambutnya tak lagi coklat tua melainkan hitam pekat.
Tubuh mungilnya yang dulu pernah diangkat oleh Bernard. Seketika bernard
merindukan masa-masa itu lagi. Tak membuang waktu, Bernard menghampiri Bintang
dan menelungkupkan tangannya di mata Bintang dari arah belakang.
“Woi
penculiiiiik. Toloooooong.” Kata Bintang pura-pura panik
“Hahaha
hei bocah tengiiil. Kemana aja loooo.” Sapa Bernard riuh
“Balik
Yogya. Lo?” tanya Bintang datar.
“Dih,
putri cantik berubah jutek lagi nih. Ayolaaah” rayu Bernard.
“Lo
kemana aja? Waktu itu gue nunggu lo di taman ini. Gue mau pamitan sama lo.
Waktu itu gue mau balik ke Yogya. Lo balik tanpa pamitan sama gue. Lo tega
Ber.” Bintang berterus terang.
“Sorry
Bintang. Gue.. Gue harus ketemu sama Diana. Dia sakit waktu itu.” Bernard
berbohong.
“Lupain.
Nanti di villa gue ada acara. Lo dateng bisa?” ajak Bintang.
“Sebisa
gue usahain, Princess Bintang.” Bernant mengedipkan satu mata lentikya.
Malam
tiba. Acara yang dibuat oleh Bintang, Nindy dan Richard sangat mempesona.
Mereka mendekornya seperti keinginan Bintang. Lampu yang sedikit dan hiasan
taman nampak seperti mereka berada di hutan sungguhan.
“Hei
Bintang, dari tadi gue cariin lo ternyata lo disini. Ngapain sih?” tanya Nindy.
“Hmm
gue lagi mikir nih Nin. Tadi gue ketemu sama Bernant. Gue berasa gimana lagi
gitu ama dia. Tapi entah deh. Gue kan udah ada Richard. Dia juga udah ada pacar
katanya. Gue pengen pendem rasa gue Nin. Tapi ya lo tau lah. Susah.” Kata
Bintang di sudut taman yang tak bercaya. Hanya ada satu lampu yang menyinari
mereka.
“Oooh
jadi gitu. Bernant udah ada di tengah loh. Lo ngundang dia? Iya. Samperin Dia
ga bawa cewenya tuh. Lo ga mau nyamperin dia?” tanya Nindy sambil menyikut
lengan Bintang.
“Serius
tanpa bawa cewenya?” kata Bintang tak percaya.
“Iya.
Samperin gih. Soal Richard gampang. Dia lagi sibuk dibelakang sama makanannya
hehe.”
Bintang
ragu. Ia tak tahu apa yang harus dia lakukan. Bintang merasa bersalah pada
Richard. Richard yang selama ini memberikan kasih tanpa Bintang minta tetapi
tidak pada Bintang. Bintang yang selalu ingin mencoba untuk mencintai Richard
dengan tulus tapi itu semua gagal karena seseorang. Bernant.
“Heh
lo, bengong aja. Buruan gih samperin. Daripada dia ngilang lagi loh. Lo mau
kehilangan dia buat yang kesekian kalinya?” sadar Nindy.
“Iya
bawel. Thanks dear” Bintang mengecup pipi Nindy.
“Gue
normal woi.” Teriak Nindy sepeninggal Bintang.
Dari
pinggir taman, Bintang melihat Bernant sedang mencari sesuatu.
“Bintaaaaang!”
kata Bernard berhasil temukan Bintang. Bintang yang dipanggil dengan suara
keras itu sontak langsung mengarah ke arah Bernant. Ya, sebelumnya Bintang
hanya melamun memandang Bernant dari kejauhan.
“Hei
Bin, lo yang punya acara kenapa lo ngumpet gitu?” kata Bernard sembari
menggandeng tangan Bintang dan mengajaknya ke kursi taman yang berada di
belakang acara. Ditemani cahaya nan redup, mereka berbincang tentang apa yang
telah terjadi saat mereka terpisah.
“Gue
bosen sama Richard. Dia terlalu sayang sama gue. Tapi gue yang nyoba cinta ke dia
selalu gagal. Gue malah berasa eneg diperlakuin bak putri gitu. Lo tau kan gue
paling ga suka digituin. Tapi dilain sisi gu juga berasa bersalah. Dia kasih
gue apa yang ga gue minta. Dia udah korbanin waktunya buat gue. Gue bingung
banget harus gimana.” Kata Bintang serius.
“Yaudah,
sekarang semua terserah di elo. Orang paling jujur itu hati kecil kita
masing-masing. Dari hati kecil lo itu, kalo lo mau ikutin pasti lo bakal lega.”
Bernard mengelus pundak Bintang. Bintang merasa gugup lalu mengalihkan
pembicaraan.
“Kalo
lo gimana?” tanya Bintang.
“Gimana
apa?” canda Bernard.
“Gue
serius. Gimana elo sama mmm sama...” Bintang tidak meneruskan kalimatnya karena
terlalu sakit untuk mengatakan nama perempuan yang telah menjajah hati Bernard
lebih dahulu.
“Diana?
Gue udah putus. Gue putusin dia sebelum dateng ke puncak ini. Gue ga tahan sama
kelakuan dia. Terlalu gila shopping, selalu minta anter shopping, ke salon, dan
lain-lain. Gue berasa bukan jadi pacarnya tapi sopirnya. Gue cape. Dan hati
kecil gue udah pilih seseorang. Otomatis gue putusin Diana.” Terang Bernard. Bintang
tak dapat berkata-kata lagi.
“Gue
sayang sama lo, Bin. Gue terlalu ngelak untuk ga cinta sama lo tapi gue gagal.
Awalnya gue nembak Diana karena gue pengen pendem perasaan gue ke elo. Maaf,
Bin.” Sesal Bernard. Bintang langsung beranjak berdiri dan menyerang Bernard
dengan mata tajamnya.
“Lo
tega Ber. Waktu awal lo dateng, gue udah ngerasa nyaman. Tapi apa kenyataannya?
Lo pergi gitu aja. Lo ga pernah balik lagi. Lo ga pernah hubungin gue. Lo ga
tau kan gue nahan sakit tiap lo cerita
tentang Diana? Lo ga tau kan hati gue
pengen banget deket sama lo. Tapi lo pergi sama Diana. Lo pergi tinggalin gue. Sadar
lo Ber?” isak Bintang tak dapat membendung air matanya. Bernard mendudukan Bintang
disampingnya. Mendekap Bintang dengan hangat. Bintang terus terisak.
“Udah
Bintang. Gue sebenernya udah tau. Tapi gue udah kenal Diana duluan. Diana juga
notabene anak rekan kerja bokap gue. Jadi gue ga enak sama Diana. Sorry Bin.”
Bernard mengelus rambut Bintang yang coklat itu.
Mereka
terdiam hingga Nindy memanggil Bintang dari kajauhan.
“Bintaaang.
Ayo sini kumpul. Udah hampir tengah malem looo. Sini giih.” Kata Nindy.
Bintang
dan Bernard berjalan dalam diam. Richard yang sedari tadi memperhatikan mereka
mulai sadar. Richard sudah merencanakan sesuatu usai acara tahun baru ini.
Treeeet
troeeeeet treeeeeeeet suara terompet riuh membahana. Bunga api melucur dengan
lancar ke atap hitam penuh bintang itu. Richard menggenggam tangan Bintang
sementara Bintang melihat ke arah Bernard yang sedang tersenyum padanya.
Bintang tak membalas senyum itu.
Acara
berakhir dengan mengucap permohonan. Mereka semua memejamkan mata.
“Aku ingin bahagia, Tuhan. Aku ingin mengenal
Bernard lebih jauh. Tapi aku merasa bersalah dengan Richard. Tolong aku, Tuhan.
Bantu aku memilih keputusan.” Ucap Bintang dalam hati.
Usai
malam itu, kini Bintang mengajak Richard pergi ke Taman Dorkas. Bintang ingin
ungkapkan semua yang ada dibenaknya.
“Richard,
aku tau aku salah. Maafin aku. Tapi aku memang kurang nyaman sama hubungan
kita. Aku pengen kita jadi temen atau sahabat aja. Aku bener-benere ga tau
harus gimana lagi. Tapi menurut kata hati aku, ini yang harus aku lakuin. Maaf Chard.”
Ungkap Bintang lirih.
“Iya,
aku tau Bintang. Aku memang bukan untuk kamu. Dan kamu memang bukan untuk aku. Maaf
kalo selama ini aku ga bisa bahagiain kamu.” Belum sempat Richard meneruskan
kalimatnya, Bintang menyanggah.
“Engga.
Kamu orang paling baik yang pernah ada. Kamu lakuin apa aja buat aku bahagia..”
Richard menempelkan telunjuknya di bibir Bintang pertanda harus diam.
“Ga
ada yang perlu dijelasin lagi, Bintang. Aku udah tau semuanya. Kalo aku masih
tetep disini, aku cuman jadi penghalang buat kamu. Aku ada kejutan buat kamu.” Kata
Richard. Dia menolehkan kepalanya ke belakang. Lalu Bernard datang dari balik
pohon.
“Richard?”
kata Bintang penuh tanda tanya.
“Iya,
aku tau cinta kamu sebenarnya itu buat Bernard. Jadi sebelum kita putus, aku
mau minta sesuatu dari kamu.”
“Apa?”
“Cintai
Bernard, jangan kamu lepas lagi dia.” Ucap Richard menggapain tangan Bintang
dan menaruhnya di tangan Bernard.
“Buat
lo, Bernard. Jaga Bintang. Jangan sakiti dia. Kalo ada apa-apa sama Bintang
awas lo.” Kata Richard.
“Thanks
Chard.” Kata Bintang penuh haru.
Sepeniggal
Richard, mereka berdua duduk di tepi taman. Bernard merangkul dan mendekap erat
Bintang.
“Aku ga bakal ngelepas
kamu lagi, Bintang.” Ucap Bernard sembari mengecup kening Bintang