Sunday, February 10, 2013

Hati yang Tertinggal (Part 1)


Pernah ada seseorang yang mencintaiku sepenuh hati
Yang mencintaiku tanpa patah arang
Yang mencintaiku tanpa lelah
Yang mencintaiku tanpa rasa sulit
Yang mencintaiku dengan penuh kasih sayang
Namun kutersadar
Semua pupus karena lautan yang tak dapat terlampaui...

Sebut saja namanya Clara. Gadis kota yang hidup sederhana. Ayahnya pemilik saham terbesar di Kota Damai tersebut. Ibunya asli keturunan Belanda yang merupakan konglomerat.
 “Claraaaaaa duduk sini siniiii.” Seru Gabriel, sahabat Clara yang selalu menemani. Gabriel sangat setia pada sahabatnya itu. Bukan karena materi namun karena ketulusan Clara dalam pertemanan mereka, persaudaraan malah.
Gabriel, berasal dari keluarga yang pas-pasan. Keluarga Gabriel pernah terlibat hutang pada pengusaha lain. Karena ayahnya yang bekerja sebagai buruh pabrik dan ibunya yang hanya menerima pesanan jahit, mereka tak sanggup membayar hutang. Sempat, hampir Gabriel harus keluar dari sekolah karena tak sanggup membayar. Namun karena Gabriel bertemu dengan Clara, di suatu tempat tak jauh dari sekolah, Clara hampir dirampok oleh segerombol penjahat, beruntung Gabriel menguasai ilmu bela diri dan dapat menyelamatkan Clara. Sejak saat itu, keluarga Clara berhutang budi pada Gabriel dan mengangkat Gabriel sebagai anak keluarga Clara. Hutang keluarga Gabriel pun telah dilunasi. Maklum, Clara adalah anak pertama dan terakhir dari pasangan Tuan Brawijaya dan Nyonya Alethea.
Saat ini Clara kuliah di salah satu universitas ternama Indonesia, jurusan Public Relationship. Gabrielpun mengikuti Clara. Namun beda jurusan. Gabriel lebih memilih jurusan hukum. Ia ingin membasmi korupsi di negara ini.
Clara beranjak dewasa. Namun ia belum jua menemukan kekasih hatinya. Sewaktu SMA, Clara pernah mempunyai pacar. Tetapi ia hanya ingin mengincar harta Clara. Clara mengetahui hal tersebut dari Gabriel. Dan akhirnya Clara meutuskan untuk berpisah dengan pacarnya tersebut.
“Eh, Clara. Ada mahasiswa cakep banget deh. Lo ga tertarik?” goda Gabriel saat di kantin.
“Gue trauma Gab. Gue takut kalo misal mereka cuman manfaatin harta bokap nyokap gue.” Keluh Clara.
“Ko lo sedih? Berarti lo pengen punya pendamping hidup kan?”
“Aih sotoy lo. Gue cabut duluan ya. Ada kelas nih.” Clara meninggalkan Gabriel.
Gabriel ingin mengenalkan pria berambut cepak, tinggi dan maskulin. Dia adalah kakak angkatan mereka. Kuliah di Fakultas Ekonomi Bisnis. Gabriel mengerti sifat Clara. Clara bukanlah gadis polos. Dia sudah berkali-kali mengalami hubungan dengan lelaki. Hubungan yang tak jauh daripada pacaran saja. Gabriel tahu, sebenarnya Clara akan cocok bila disandingkan dengan pria itu. Gabriel yang notabene juga pacar dari kakak angkatan fakultas Ekonomi Bisnis mencari tahu tentang pria itu.
“Sayang. Nama cowo itu siapa sih? Ko aku baru liat dia ya?” tanya Gabriel merajuk pada kekasihnya, Sammy.
“Ooh namanya Bernant. Dia emang rada-rada misterius gitu. Kadang ada kadang ngilang gitu aja. Kenapa gitu?” selidik Sammy.
“Wet, jangan mikir macem-macem yaa. Aku pengen deh nyomblangin Bernant sama Clara. Dia orangnya gimana? Kalo aku liat dari postur dia, cocok sih sama Clara. Tapi kan kita juga harus tau sifat Bernant itu kan?” Gabriel meminta pendapat.
“Hmm gitu. Ya si Bernant ini orangnya agak jutek gitu. Susah bergaul. Tapi jangan samain dia kaya kutu buku dan semacamnya. Didalam ketenangannya, dia juga bisa ngehanyutin. Ngerti kan?” terang Sammy.
“Maksutnya dia bisa sewaktu-waktu beringas gitu?” tanya Gabriel tak paham.
“Bukan, sayaaang. Dia ini termasuk orang terpopuler di fakultasku. Ngerti kan kelakuan orang populer itu gimana.” Kata Sammy.
“Yep. I gotcha!” Gabriel mengangguk, mengerti.
Gabriel terus berfikir bagaimana cara mendekatkan Clara dengan Bernant.
Clara berada diperpustakaan untuk mempelajari bahasa-bahasa internasional. Saat mengambil buku yang letaknya di paling ujung atas, buku tersebut jatuh dan menimpa orang disebelah Clara.
“Ouuch. Sakit. Bego. Kalo ga bisa ambil ga usah ambil kek. Bego!” bentak lelaki maskulin itu pada Clara.
“Sial. Sorry. Gitu aja marah.” Kata Clara sembari mengambil bukunya yang terjatuh. Namun buku itu diinjak oleh pria itu.
“Heh misi dong. Punya sopan ga sih?” kata Clara menahan amarah.
“Gue yang harusnya tanya. Lo punya sopan ga. Udah jatohin buku, cuman maaf doang.” Kata lelaki itu.
“Terus gue harus gimana ha? Traktir lo makan? Jadi babu lo gitu?” bentak Clara yang sudah naik pitam.
“Aha. Ada bagusnya juga tuh.” Usil lelaki itu.
“Najis!” bentak Clara didepan wajah lelaki itu dan beranjak meninggalkan tempat kejadian setelah mengambil buku itu.
Setelah kejadian itu, sehari penuh mood Clara jadi tidak bagus.
“Halo, Gaby?” suara dari seberang telefon.
“iya. Kenapa Ra?” tanya Gabriel. Clara menelfon Gabriel.
“Cabut yuk. Bete gue.” Ajak Clara.
“Gue tunggu lo di parkiran ya.” Lanjut Clara, mematikan telefonnya.
Clara berjalan menuju parkiran.
Bruk! Clara menabrak seseorang.
“Sial sial sial. Gue ketemu lo lagi. Ngapain sih lo? Jalan tuh sambil liat-liat dong.” Bentak lelaki yang tadi Clara temui di perpustakaan.
“Heh elo tuh yang bikin hari gue sial. Gue udah ga mood kuliah gara-gara elo!” balas Clara meninggalkan lelaki itu ditengah keramaian.
“Hiiih elo musti tau apa yang bikin gue bete hari ini.” Sungut Clara.
“Hahaha emang apaan? Tumben lo se-unmoood ini.”
“Gue ketemu cowo rese banget. Jelas-jelas dia yang salah. Dari tadi gue mulu yang disalahin. Hanjir banget deh.” Kata Clara, kesal.
“Ya ampun, Clara. Cuman begituan doang? Ati-ati loooh. Nanti jadi jatuh cinta haha.” Tawa Gaby.
“Aih lo sama resenya ah. Sekarang kita mau kemana nih?” tanya Clara.
“Terserah lo lah. Kan elo yang bawa kabur gue.” Jawab Gaby, tertawa.
Mereka menuju cafe langganan mereka. De Amoura Cafe. Beberapa blok dari rumah mereka. Seperti biasa, Clara memesan chocomilk with chocochips. Sedangkan Gabriel memilih strawberry with vanila wiped.
“Lo ninggalin kuliah lo dong?” Gaby membuka pembicaraan.
“Udah selesai. Dosen pergi, istrinya ngidam pengen ke Bandung.” Jawab Clara singkat.
“Haha lucu amet dah ngidamnya. Dosen gue liburan menuhin permintaan anaknya. Jadi gimana tuh sama cowo yang lo temuin tadi?” pancing Gaby.
“Aiiih apaan sih Gab. Gausah ngulang cerita itu lagi deh. Gimana lo sama Sammy?’ Clara mengalihkan pembicaraan.
“Makin mesra dong yaaa hahaha” tawa Gabriel.
“Eh gue pengen deh bikin acara blind-date.” Lanjut Gaby.
“Hah? Gila lo. Lo kan udah ada Sammy. Ngapain blind-date segala?” Clara tak percaya.
“Ya Tuhan. Bukan buat gue laaah. Tapi buat elo. Gimana?” kata Gaby misterius.
“Aih apaan. Ga bermutu. Jangan-jangan lo mau nyomblangin gue sama om-om lagi. Ogah gue.” Kata Clara.
“Kagaaa. Swear gue janji. Cowo ini beda daripada yang lain. Gimana?” rayu Gaby.
“Ogah!” kata Clara.
“Ah ga asik lo. Pokonya lo harus mau. Daripada lo jadi perawan tua? Mau lo??” ancam Gaby.
“Hanjir lo. Mau ngutuk gue nih?” sungut Clara. Mereka tertawa.
Matahari telah beristirahat tepat ketika Clara dan Gabriel selesai berbelanja di mall. Setelah dari cafe, mereka memutuskan untuk pergi shopping.
Dirumah, Clara langsung menuju kamar mandi untuk merelaksasikan tubuhnya yang sudah capai. Begitu juga Gabriel.
“Araaa. Sini deh.” Panggil ayah Clara. Ara adalah panggilan sayang dari ayah dan sang bunda.
“Iya Paaa. Tunggu.” Jawab Clara yang sedang mengeringkan rambut seusai mandi.
“Kenapa Pa?” tanya Clara. Pandangan Clara terhenti di sudut sofa,tempat lelaki yang tadi ditemuinya. ‘Hanjir kenapa ada dia disini.’ Kata Clara dalam hati.
“Ini ada anak temen papa. Anaknya Om Sebastian yang ada di Amerika itu. Inget? Bernant, ini anak om. Ayo Clara, sini.” Ucap papa Clara mengenalkan.
“Bernant.” Lelaki itu mengulurkan tangannya ke arah Clara. Karena ada papanya, Clara menjabat tangan itu.
“Clara.”
“Nah, Clara. Bernant nanti akan tinggal di rumah sebelah kita. Dia akan jadi tetangga baru kita.” Kata papa Clara. Clara hanya tersenyum simpel.
“Clara, temenin Bernant dulu ya. Papa ada acara keluar sama mama.” Ucap papa Clara. Mama Clara yang sedari tadi berbincang dengan Bernant, menggandeng papa Clara menuju keluar rumah.
Clara naik ke atas, ke kamarnya.
“Eeeh mau kemana lo?” tanya Bernant.
“Bukan urusan lo.” Ucap Clara singkat.
Di kamar, Clara bicara dengan Gaby. Gaby langsung berbinar mendengarnya.
“Kenapa lo tinggalin? Turun gih.” Ucap Gaby.
“Ogah ah. Lo aja sana.” Kata Clara malas.
“Hiih dia kan tetangga baru. Sini sini gue temenin. Ayo Ara sayaaaang.” Gaby menarik lengan Clara menuju ruang tamu.
Di tangga terakhir, Clara tidak memprhatikan jalan sehingga jalannya oleng. Bruk! Alhasil, Clara dengan lancar bak kereta api langsung jatuh. Wajah Clara langsung merah padam. Ia melihat ke arah Bernant yang sedang menahan tawa. Dibantu oleh Gabriel, Clara bangkit. Ia langsung ke dapur untuk mengambil sedikit makanan kecil.
“Gue harus kasih dia pelajaran.” Ungkap Clara. Ia memasukan obat pencuci perut pada roti yang akan dihidangkan untuk Bernant.
“Nih buat lo.” Kata Clara ketus. Bernant yang saat itu kelaparan langsung memakan roti dari Clara.
Beberapa saat kemudian.
“Clar, toilet lo dimana?” tanya Bernant, mukanya berubah menjadi merah. Menahan sesuatu.
“Dari sini, lurus, nanti belok kanan. Ada pintu nah disitu.” Jawab Clara menahan tawa. Bernant langsung menuju toilet itu. Beberapa menit kemudian-lama- Bernant keluar. Ia melihat Clara sdang tertawa dengan Gabriel. Bernant yang keadaannya masih sakit perut berlebih, memutuskan untuk pulang.
“Gue balik deh. Salam buat bonyok lo.” Kata Bernant langsung ngacir.
“Haha gue puas deh dia kesakitan gitu.” Kata Clara pada Gabriel, tertawa.
Keesokan harinya, Clara berangkat menuju kampus bersama Gabriel. Saat mobilnya hendak keluar, ternyata ada mobil hitam yang menghalangi jalan mereka.
“Hanjir, mobil siapa sih ini.” Sungut Clara
Din diiiiiin. Klakson ditekan beberapa kali hingga sosok yang menyebalkan bagi Clarapun muncul. Clara yang sudah naik darah, langsung turun, ingin mendamprat Bernant.
“Heh, ini jalan punya nenek elo? Seenaknya aja parkir sembarangan gitu!” bentak Clara.
“Apa? Jalan ini? Kalo emang iya kenapa?” tantang Bernant.
“Aih percuma ngomong sama kambing. Waktu gue sia-sia ngomong sama elo.” Kata Clara langsung masuk kedalam mobil. Mengemudikan mobilnya secepat angin.
“Ra, elo kenapa sih gitu banget sama Bernant? Atai-ati loh. Nanti jadi cinta lo sama dia haha.” Goda Gaby.

No comments:

Post a Comment